Rabu, 15 Desember 2010

Sejarah Aksara Jawa Legenda Hanacaraka

Sejarah Aksara Jawa Legenda Hanacaraka
1. Sejarah Aksara Jawa Legenda Hanacaraka Aksara Jawa Hanacaraka itu berasal dari aksara Brahmi yang asalnya dari Hindhustan. Di negeri Hindhustan tersebut terdapat bermacam-macam aksara, salah satunya yaitu aksara Pallawa yang berasal dari Indhia bagian selatan. Dinamakan aksara Pallawa karena berasal dari salah satu kerajaan yang ada di sana yaitu Kerajaan Pallawa. Aksara Pallawa itu digunakan sekitar pada abad ke-4 Masehi. Di Nusantara terdapat bukti sejarah berupa prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, antara lain: aksara hanacaraka , aksara Rencong (aksara Kaganga), Surat Batak, Aksara Makassar dan Aksara Baybayin (aksara di Filipina)[1]. Profesor J.G. de Casparis dari Belanda, yaitu pakar paleografi atau ahli ilmu sejarah aksara, mengutarakan bahwa aksara hanacaraka itu dibagi menjadi lima masa utama, yaitu: a. Aksara Pallawa Aksara Pallawa itu berasal dari India Selatan. Jenis aksara ini mulai digunakan sekitar abad ke 4 dan abad ke 5 masehi. Salah satu bukti penggunaan jenis aksara ini di Nusantara adalah ditemukannya prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur. Aksara ini juga digunakan di Pulau Jawa, yaitu di Tatar Sundha di Prasasti tarumanegara yang ditulis sekitar pada tahun 450 M. di tanah Jawa sendiri, aksara ini digunakan pada Prasasti Tuk Mas dan Prasasti Canggal. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, termasuk aksara hanacaraka. Kalau diperhatikan, aksara Pallawa ini bentuknya segi empat. Dalam bahasa Inggris, perkara ini disebut sebagai huruf box head atau square head-mark. Walaupun aksara Pallawa ini sudah digunakan sejak abad ke-4, namun bahasa Nusantara asli belum ada yang ditulis dalam aksara ini. Gambar 2.1 Prasasti Yupa b. Aksara Kawi Wiwitan Perbedaan antara aksara Kawi Wiwitan dengan aksara Pallawa itu terutama terdapat pada gayanya. Aksara Pallawa itu dikenal sebagai salah satu aksara monumental, yaitu aksara yang digunakan untuk menulis pada batu prasasti. Aksara Kawi Wiwitan utamanya digunakan untuk nulis pada rontal, oleh karena itu bentuknya menjadi lebih kursif. Aksara ini digunakan antara tahun 750 M sampai 925 M. Prasasti-prasasti yang ditulis dengan menggunakan aksara ini jumlahnya sangatlah banyak, kurang lebih 1/3 dari semua prasasti yang ditemukan di Pulau jawa. Misalnya pada Prasasti Plumpang (di daerah Salatiga) yang kurang lebih ditulis pada tahun 750 M. Prasasti ini masih ditulis dengan bahasa Sansekerta. c. Aksara Kawi Pungkasan Kira-kira setelah tahun 925, pusat kekuasaan di pulau Jawa berada di daerah jawa timur. Pengalihan kekuasaan ini juga berpengaruh pada jenis aksara yang digunakan. Masa penggunaan aksara Kawi Pungkasan ini kira-kira mulai tahun 925 M sampai 1250 M. Sebenarnya aksara Kawi Pungkasan ini tidak terlalu banyak perbedaannya dengan aksara Kawi Wiwitan, namun gayanya saja yang menjadi agak beda. Di sisi lain, gaya aksara yang digunakan di Jawa Timur sebelum tahun 925 M juga sudah berbeda dengan gaya aksara yang digunakan di Jawa tengah. Jadi perbedaan ini tidak hanya perbedaan dalam waktu saja, namun juga pada perbedaan tempatnya. Pada masa itu bisa dibedakan empat gaya aksara yang berbeda-beda, yaitu; 1) Aksara Kawi Jawa Wetanan pada tahun 910-950 M; 2) Aksara Kawi Jawa Wetanan pada jaman Prabu Airlangga pada tahun 1019-1042 M; 3) Aksara Kawi Jawa Wetanan Kedhiri kurang lebih pada tahun 1100-1200 M; 4) Aksara Tegak (quadrate script) masih berada di masa kerajaan Kedhiri pada tahun 1050-1220 M d. Aksara Majapahit Dalam sejarah Nusantara pada masa antara tahun 1250-1450 M, ditandai dengan dominasi Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Aksara Majapahit ini juga menunjukkan adanya pengaruh dari gaya penulisan di rontal dan bentuknya sudah lebih indah dengan gaya semi kaligrafis. Contoh utama gaya penulisan ini adalah terdapat pada Prasasti Singhasari yang diperkirakan pada tahun 1351 M. gaya penulisan aksara gaya Majapahit ini sudah mendekati gaya modern. Gambar 2.2 Prasasti Singhasari e. Aksara Pasca Majapahit Setelah naman Majapahit yang menurut sejarah kira-kira mulai tahun 1479 sampai akhir abad 16 atau awal abad 17 M, merupakan masa kelam sejarah aksara Jawa. Karena setelah itu sampai awal abad ke-17 M, hampir tidak ditemukan bukti penulisan penggunaan aksara jawa, tiba-tiba bentuk aksara Jawa menjadi bentuk yang modern. Walaupun demikian, juga ditemukan prasasti yang dianggap menjadi “missing link” antara aksara Hanacaraka dari jaman Jawa kuna dan aksara Budha yang sampai sekarang masih digunakan di tanah Jawa, terutama di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Merbabu sampai abad ke-18. Prasasti ini dinamakan dengan Prasasti Ngadoman yang ditemukan di daerah Salatiga. Namun, contoh aksara Budha yang paling tua digunakan berasal dari Jawa barat dan ditemukan dalam naskah-naskah yang menceritakan Kakawin Arjunawiwaha dan Kunjarakarna. Gambar 2.3 Prasasti Ngadoman f. Munculnya Aksara Hanacaraka Baru Setelah jaman Majapahit, muncul jaman Islam dan juga Jaman Kolonialisme Barat di tanah Jawa. Dijaman ini muncul naskah-naskah manuskrip yang pertama yang sudah menggunakan aksara Hanacaraka baru. Naskah-naskah ini tidak hanya ditulis di daun palem (rontal atau nipah) lagi, namun juga di kerta dan berwujud buku atau codex (“kondheks”). Naskah-naskah ini ditemukan di daerah pesisir utara Jawa dan dibawa ke Eropa pada abad ke 16 atau 17. Gambar 2.4 Naskah Aksara Jawa Bentuk dari aksara Hanacaraka baru ini sudah berbeda dengan aksara sebelumnya seperti aksara Majapahit. Perbedaan utama itu dinamakan serif tambahan di aksara Hanacaraka batu. Aksara-aksara Hanacaraka awal ini bentuknya mirip semua mulai dari Banten sebelah barat sampai Bali. Namun, akhirnya beberapa daerah tidak menggunakan aksara hanacaraka dan pindhah menggunakan pegon dan aksara hanacaraka gaya Durakarta yang menjadi baku. Namun dari semua aksara itu, aksara Bali yang bentuknya tetap sama sampai abad ke-20. Aksara Pallawa ini digunakan di Nusantara dari abad ke-4 sampai kurang lebih abad ke-8. Lalu aksara Kawi Wiwitan digunakan dari abad ke-8 samapai abad ke-10, terutama di Jawa Tengah[2]. [1] Anonimousc. 2009. Hanacaraka Saka Wikipedia, Ensiklopedia Bebas Ing Basa Jawa. Http://www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 12 Februari 2009 Hal. 3 [2] Anonimousc. 2009. Hanacaraka Saka Wikipedia, Ensiklopedia Bebas Ing Basa Jawa. Http://www.w

Kamis, 02 Desember 2010

Sejarah Wayang

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti "bayangan".
Jika ditinjau dari arti filsafatnya "wayang" dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain.
Sebagai alat untuk memperagakan suatu ceritera wayang.
Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh beberapa orang penabuh gamelan dan satu atau dua orang waranggana sebagai vokalisnya.
Di samping itu, seorang dalang kadang kadang juga mempunyai seorang pembantu khusus untuk dirinya, yang bertugas untuk mengatur wayang sebelum permainan dimulai dan mempersiapkan jenis tokoh wayang yang akan dibutuhkan oleh dalang dalam menyajikan ceritera.
Fungsi dalang di sini adalah mengatur jalannya pertunjukan secara keseluruhan.
Dialah yang memimpin semua crewnya untuk luluh dalam alur ceritera yang disajikan.
Bahkan sampai pada adegan yang kecil-kecilpun harus ada kekompakan di antara semua crew kesenian tersebut.
Dengan demikian, di samping dituntut untuk bisa menghayati masing-masing karakter dari tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan, seorang dalang juga harus mengerti tentang gending (lagu).
Desain lantai yang dipergunakan dalam permainan wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, seorang dalang dibatasi oleh alas yang dipakai untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang dikenal set kanan dan set kiri.
Set kanan merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan set kiri adalah tempat tokoh-tokoh angkara murka.
Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak.
Untuk memperagakan berbagai setting/dekorasi dan pergantian adegan biasanya dipakai simbol berupa gunungan.
Pertunjukan wayang bisa dilakukan pada siang maupun malam hari, atau sehari semalam.
Lama pertunjukan untuk satu lakon adalah sekitar 7 sampai 8 jam.
Instrumen musik yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap adalah gamelan Jawa pelog dan slendro, tetapi bila tidak lengkap yang biasa digunakan adalah dan jenis slendro saja.
Vokalis putri dalam iringan musik yang disebut waranggono bisa satu orang atau lebih.
Di samping itu, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wirasuara, yang jumlahnya 4 sampai 6 orang dan bertugas mengiringi waranggana dengan suara "koor".
Vokalis pria ini bisa disediakan khusus atau dirangkap oleh penabuh gamelan, sehingga penabuh gamelan adalah juga penggerong.
Dalam menentukan lakon yang akan disajikan seorang dalang tidak bisa begitu saja memilih sesuai dengan kehendaknya.
Ia dibatasi oleh beberapa faktor.
Diantaranya adalah:
(1) jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan;
(2) kepercayaan masyarakat sekitarnya;
(3) keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.
Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa disajikan lewat wayang-wayang tersebut.
Seperangkat wayang kulit misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana.
Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak.
Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, ini dikarenakan tokoh tokoh yang ada dalam wayang-wayang tersebut memang sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon (ceritera-ceritera) tertentu.
Dalam suatu masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak kita jumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang.
Sebagian masyarakat misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan.
Apabila pantangan ini dilanggar, orang yakin bahwa keluarga tersebut akan mengalami kesusahan.
Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya.
Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang.
Untuk suatu upacara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan juga tertentu.
Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan adalah "Kondure Dewi Sri" (Pulangnya Dewi Sri), sedangkan untuk upacara ngruwat lakonnya adalah Batara Kala.
Selain batasan-batasan ini lakon wayang sering kali juga ditentukan oleh permintaan penanggap2 atau atas kesepakatan antara pihak dalang dan penanggap wayang.
Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia pendapat dari beberapa ahli dapat digunakan sebagai pedoman untuk memaparkan hal ini.
Salah satu pendapat yang didukung oleh data yang kuat disampaikan oleh Sri Mulyono. Mengenai timbulnya pertunjukan wayang ini Mulyono berpendapat bahwa pertunjukan wayang kulit dalam bentuknya yang asli, yaitu dengan segala sarana pentas / peralatannya yang serba sederhana, yang pada garis besarnya sama dengan yang sekarang kita lihat, yaitu dengan menggunakan wayang dari kulit diukir (ditatah), kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya, sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya orang Indonesia asli di Jawa, sedangkan timbulnya jauh sebelum kebudayaan Hindu datang.
Pertunjukan wayang kulit ini pada dasarnya merupakan upacara keagamaan atau upacara yang berhubungan dengan kepercayaan untuk menuju "Hyang", dilakukan di malam hari oleh seorang medium (syaman) atau dikerjakan sendiri oleh kepala keluarga dengan mengambil ceritera-ceritera dari leluhur atau nenek moyangnya.
Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berhubungan dengan roh nenek moyang guna memohon pertolongan dan restunya apabila keluarga itu akan memulai atau telah selesai menunaikan suatu tugas.
Upacara semacam ini diperkirakan timbul pada jaman Neohithik Indonesia atau pada ± tahun 1500 SM.
Dalam perkembangannya kemudian upacara ini dikerjakan oleh seorang yang memiliki keahlian, atau menjadikannya suatu pekerjaan tetap, yang disebut dalang.
Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap namun tetap mempertahankan fungsi intinya, yaitu sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan sistim kepercayaan dan pendidikan.
Berkenaan dengan perkembangan kesenian wayang ini sebagai ibu kota kerajaan Mataram Baru, Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habiranda pada tahun 1925 di kota ini.
Kini para dalang lulusan sekolah Habiranda banyak tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengenai jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, ternyata ada beberapa jenis yaitu: Wayang Kulit/ Purwa; Wayang Klithik; Wayang Golek dan Wayang Orang.

WAYANG KULIT PURWO

Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu atau kambing).
Wayang kulit dipakai untuk memperagakan Lakon lakon dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa.
Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat seperti: bersih desa, ngruwat dan lain-lain.
Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung.
Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara.
Rata-rata pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi.
Bila dilakukan pada siang hari pertunjukan biasanya dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00.
Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak.
Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang kulit, jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya.
Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya.
Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan.
Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang pengetahuannya diperoleh lewat keturunan.
Meskipun demikian, seorang dalang diberi kesempatan pula untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti ceritera pokok saja.
Untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting.
Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini.
Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka.
Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri.
Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya.
Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan.
Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna, Werkudara dan lain-lain.
Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar.
Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi.
Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran), petromak, sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik.


WAYANG KLITHIK

Wayang klithik terbuat dari kayu dengan dua dimensi (pipih) yang hampir mendekati bentuk wayang kulit.
Terdapat persamaan antara wayang kulit dengan wayang klithik, misalnya pada gamelan, vokalis, bahasa yang digunakan dalam dialog, desain lantai, alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan dan lain-lain.
Meskipun demikian, banyak juga kita jumpai perbedaan-perbedaannya.
Pertunjukan wayang klithik umumnya hanya berfungsi sebagai tontonan biasa yang kadang-kadang di dalamnya diselipkan penerangan-penerangan dari pemerintah. Setting panggung sedikit agak berbeda dengan wayang kulit.
Wayang klithik ini meskipun desain lantainya berupa garis lurus, tetapi tidak menggunakan layar, untuk menancapkan wayang digunakan bambu yang sudah dilubangi.
Ceritera yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang klithik diambil dari ceritera babad, dan umumnya hanya diambil dari babad Majapahit, mulai dari masuknya Damarwulan menjadi abdi sampai dia menjadi raja.
Dalang dalang wayang klithik umumnya memperoleh pengetahuan tentang kesenian dari orang tua mereka yang juga dalang wayang klithik. Lembaga pendidikan untuk dalang wayang klithik tidak dijumpai, sebab wayang klithik memang kurang populer dalam masyarakat.

WAYANG GOLEK

Seperti halnya wayang klithik wayang golek juga terbuat dari kayu, tetapi wayang golek memiliki tiga dimensi (seperti boneka).
Wayang golek ini lebih realis dibanding dengan wayang kulit dan wayang klithik, sebab selain bentuknya menyerupai bentuk badan manusia dia juga dilengkapi dengan kostum yang terbuat dari kain.
Pertunjukan wayang golek selain untuk tontonan biasa, juga masih sering dipentaskan sebagai upacara bersih desa.
Lakon yang diperagakan berasal dari babad Menak yaitu sejarah tanah Arab menjelang kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.
Menurut keterangan, ceritera ini dikarang oleh Pujangga Ronggowarsito.
Berbeda dengan wayang kulit, warna rias muka wayang golek cukup jelas penggolongan simbolisnya, yakni sebagai berikut:
(1) warna merah untuk watak kemurkaan,
(2) warna putih untuk watak baik dan jujur,
(3) wama merah jambu untuk watak setengah-setengah,
(4) warna hijau untuk watak tulus,
(5) warna hitam untuk watak kelanggengan.
Kostum wayang juga menunjukkan status dan peranannya.
Misalnya saja, kostum topong adalah untuk peran raja, kostum jangkangan untuk peran satria, kostum jubah untuk peran pendeta, kostum rompi untuk peran cantrik, dan kostum serban untuk peran adipati.
Pendidikan kesenian dalang wayang golek juga mirip wayang klithik, yaitu berasal dari pengalaman atau ajaran orang tua yang juga dalang.

WAYANG ORANG

Wayang Orang merupakan bentuk perwujudan dari wayang kulit yang diperagakan oleh manusia.
Jadi kesenian wayang orang ini merupakan refleksi dari wayang kulit. Bedanya, wayang orang ini bisa bergerak dan berdialog sendiri.
Fungsi dan pementasan Wayang Orang, disamping sebagai tontonan biasa kadang-kadang juga digunakan untuk memenuhi nadzar.
Sebagaimana dalam wayang kulit, lakon yang biasa dibawakan dalam Wayang Orang juga bersumber dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana. Kesenian Wayang Orang yang hidup dewasa ini pada dasarnya terdiri dari dua aliran yaitu gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta.
Perbedaan yang ada di antara dua aliran terdapat terutama pada intonasi dialog, tan, dan kostum.
Dialog dalam Wayang Orang gaya Surakarta lebih bersifat realis sesuai dengan tingkatan emosi dan suasana yang terjadi, dan intonasinya agak bervariasi.
Dalam Wayang Orang gaya Yogyakarta dialog distilisasinya sedemikian rupa dan mempunyai pola yang monoton.
Hampir semua group Wayang Orang yang dijumpai menggunakan dialog gaya Surakarta.
Jika toh ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya terdapat pada tarian atau kadangkadang pada kostum.
Untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang orang secara lengkap, biasanya dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang, yang terdiri dan:
(1) 20 orang sebagai pemain (terdiri dari pria dan wanita);
(2) 12 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara;
(3) 2 orang sebagai waranggana;
(4) 1 orang sebagai dalang.
Dalam pertunjukan Wayang Orang, fungsi dalang yang juga merupakan sutradara tidak seluas seperti pada wayang kulit.
Dalang wayang orang bertindak sebagai pengatur perpindahan adegan, yang ditandai dengan suara suluk atau monolog.
Dalam dialog yang diucapkan oleh pemain, sedikit sekali campur tangan dalang. Dalang hanya memberikan petunjuk-petunjuk garis besar saja. Selanjutnya pemain sendiri yang harus berimprovisasi dengan dialognya sesuai dengan alur ceritera yang telah diberikan oleh sang dalang.
Pola kostum dan make up Wayang Orang disesuaikan dengan bentuk (patron) wayang kulit, sehingga pola tersebut tidak pernah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertunjukan Wayang Orang menggunakan konsep pementasan panggung yang bersifat realistis.
Setiap gerak dari pemain dilakukan dengan tarian, baik ketika masuk panggung, keluar panggung, perang ataupun yang lain-lain.
Gamelan yang dipergunakan seperti juga dalam wayang kulit adalah pelog dan slendro dan bila tidak lengkap biasanya dipakai yang slendro saja.
Lama pertunjukan wayang orang biasanya sekitar 7 atau 8 jam untuk satu lakon, biasanya dilakukan pada malam hari.
Pertunjukan pada siang hari jarang sekali dilakukan.
Sebelum pertunjukan di mulai sering ditampilkan pra-tontonan berupa atraksi tari-tarian yang disebut ekstra, yang tidak ada hubungannya dengan lakon utama.

Tembung Yogaswara

TEMBUNG YOGASWARA
Tembung yogaswara iku tembung loro ateges lanang-wadon kang mung beda wandane wekasan. Dene bedane yaiku wandane kang ngarep mawa swara "a", tembunge kang mburi mawa swara "i"
01. Apsara-Apsari
02. Bathara-bathari
03. Dewa-dewi
04. Gana-gini
05. Gandarwa-gandharwi
06. Gedhana-gedhini
07. Pemudha-pemudhi
08. Prameswara-prameswari
09. Raseksa-raseksi
10. Widadara-widodari
11. Yaksa-yaksi
12. Putra-putri

Tembung Kawi

A
agni = gêni
agrå = pucúk
ajar = pandhitå
aji = ratu, råjå
akåså = awang awang
aldåkå = gunúng
ambå = aku, ingsun
ambeg = sipat
ancålå = gunung
andåkå = bantheng
anggå = awak
anggung = tansah
angkårå = lobå
apsårå = déwå
asurå = butå
ardi = gunúng
argå = gunúng
arís = alon, sarèh
arkå = srêngéngée
arså = arep
asthå = wólu
asthi = gajah
atmå = anak
atmajå = anak
aywå = åjå
B
badhåmå = gaman
bådrå = rembulan
bantålå = lêmah
barunå = sêgårå
basuki = slamêt
bathårå = déewå
bayu = angín biråwå = gagah
bråmå = gêni
bramantyå = nêsu
brangtå = kasmaran
bogå = pangan
bomantårå = langít
C
cåkå = rodhå
candhålå = daksiyå
cåndrå = rêmbulan
caråkå = utusan
catúr = papat cidrå = durjånå
ciptå = ngarang
citrå = gambaran
culikå = durjånå
D
dahånå = gêni
danåwå = butå
dhandhang = gagak
dhadhu = abang
dhatulåyå = kratón
dåså = sepuluh
datan = ora
dwipånggå = gajah
dirgantårå = awang2
dityå = butå
diyu = butå dhingín = dhisík
driyå = ati
dúk = nalikå
dúksinå = kidul
(n)dulu = ndêlêng
dutå = utusan
dwi = loro
dwijå = guru
dhúhkitå = susah
dumadi = uríp
E
ekå = siji
eksi = måtå
erawati = blêdhèg
érnåwå = sêgårå
ésa = tunggal
èsti = karêp
G
gahånå = jurang
gapurå = lawang agúng
gåtå = laku
gåtrå = baris
gegånå = awang-awang
giri = gunúng
gitå = kêmbang
gung = gêdhé
gúntúr = jugrúg
gúrnitå = gludhúg
gurúh = blêdhèg
gyå = énggal
I
ibå = gajah
imå = mégå
imålåyå = gunúng
inå = asór
indriyå = karêp
ingsún = aku
J
jålå = banyu
jålådårå = mendhúng
jaladri = sêgårå
jalanidhi = sêgårå
jalu = lanang
jalmå = wóng jawåtå = déwå
jarwå = têgês
jåyå = mênang
jênar = kuníng
juwitå = wanitå
K
kadyå = kåyå
kågå = manúk
kalbu = ati
kalokå = kesuwúr
kalpikå = ali - ali
kalyånå = linuwih
kapti = têngên
kapiyarså = karêp
kardi = kêprungu
kartå = aman
kartikå = lintang
karyå = gawé
kayún = karêp
kencånå = êmas
kéring = kiwå
kintåkå = layang
kismå = lêmah
kresnå = irêng
kukilå = manúk
kuncårå = misuwúr
kusumå = kêmbang
kuwåwå = kuwat
L
lalis = mati
lampús = mati
langkíng = irêng
lastri = bêngi
layu = mati
lêbda = pintêr
léna = mati
lír = kåyå
lóh jinawi = subúr
lokå = jagad
ludirå = getih
luhúr = mubyå
lumaksånå = mlaku

Isbat

Isbat yaiku unen-unen kang ajeg panganggone lan mawa surasa tartamtu. Isbat awujud racikaning tembung kang ndhapuk ukara, ngemu teges entar lan ngemu ‘pasemon’. Tembung ‘isbat’ tegese ‘katetepan’. Isbat saemper paribasan, tegese lumereg marang filsafat? [mbokmenawa luwih trep 'falsafah'] lan pasemon. Lumrahe dianggo istilah, konsep, utawa kredho ing ngelmu tasawuf, makripat, filsafat/falsafah kejawen, utawa idheologi ‘sangkan paran’.
Tuladha:

Golek geni adedamar
golek banyu apepikulan warih

Arane Dina lan Wuku

Arane Dina:
Ahad (Minggu) = Ditya

Senen = Soma

Selasa = Anggara

Rebo = Buddha

Kemis = Wrespati

Jum'at = Sukra

Sabtu = Tumpak


Arane Pasaran

Pon = Palguna

Wage = Cemengan

Kliwon = Kasi

Legi = Mani

Pahing = Jenar


Arane Wuku
Sawuku umure saminggu, cacahe Wuku ana 30, yaiku :


Wuku Shinta

Wuku Landhep

Wuku Wukir

Wuku Kuranthil

Wuku Tolu

Wuku Gumbreng

Wuku Warigalit

Wuku Warigagung

Wuku Julungwangi

Wuku Sungsang

Wuku Galungan

Wuku Kuningan

Wuku Langkir

Wuku Arandhasiya

Wuku Julungpujut

Wuku Pahang

Wuku Kuruwelut

Wuku Marakeh

Wuku Tambir

Wuku Medhangkungan

Wuku Maktal

Wuku Wuye

Wuku Manakil

Wuku Prangbabat

Wuku Bala

Wuku Wungu

Wuku Wayang

Wuku Kulawu

Wuku Dhukut

Wuku Watugunung

dening: ndalem Mbah Doel

Araning Panggonan lan Tali

TEMBUNG KANG ATEGES ARANING PANGGONAN

01. Kanthong wadhah dhuwit
02. Endhong wadhah panah
03. Pranji wadhah pithik
04. Kombong panggonan bèbèk
05. Rong omah ula
06. Susuh omah manuk
07. Krangkèng omah macan
08. Warangka wadhah kêris
09. Lèng omah gangsir
10. Song omah landak
11. Papon wadhah apu/injêt
12. Pragèn wadhah bumbu
13. Plangkan wadhah tumbak
14. Slêpi wadhah rokok
15. Gayor wadhah gong
16. Bothèkan wadhah jamu
17. Pok wadhah kinang
18. Padaringan wadhah bêras
19. Lumbung wadhah pari
20. Tulang wadhah jangkrik
21. Clunthang wadhah jangkrik
22. Kandhang panggonan Kebo-sapi-wêdus
23. Tala omah tawon
24. Sudhung omah cèlèng
25. Kurungan wadhah manuk
26. Pagupon omah dara
27. Sêlon wadhah trasi
28. Gêdhogan kandhang jaran
29. Tangsi panggonan saradadu
30. Mesjid panggonan sembahyang (Islam)
31. Langgar panggonan sembahyang (Islam)
32. Klênthèng panggonan sembahyang (Cina)
33. Gréja panggonan sembahyang (Kristen/Protestan/Katholik)
34. Dhompèt wadhah dhuwit
35. Patarangan omah pitik
36. Bango omah kanggo dodolan
37. Grêdu omah kanggo jaga
38. Gubug omah ing tengah sawah
39. Hotèl omah panginepan sing larang
40. Pasanggrahan omah palêrêman ing gunung
41. Bangsal omah gêdhé tur éndah
42. Balé-mangu omah kanggo ngadili
43. Panti-sari omah ing satengahing taman
44. Padhépokan omah dununging pandhita
45. Pacrabakan omah panggonane wiku
46. Balé-mandhakiya omah kanggo sêmèdi
47. Sanggar pamujan omah kanggo sêmèdi
48. Sanggar palanggatanomah kanggo sêmèdi
49. Sanggar pêmidikan omah kanggo sêmèdi
50. Sanggar pamêlênganomah kanggo sêmèdi

ARANING TALI

01. Tali pancing arané kênur
02. Tali panggalan arané ewêd
03. Tali sangkal arané jangêt
04. Tali caping arané klanthé
05. Tali sapu arané suh
06. Tali gêndhéwa arané sêndhêng/kêndhêng
07. Tali kêlir wayang arané jala-jala
08. Tali pasangan arané sawêd
09. Tali gong arané pluntur
10. Tali lapak arané ambên
11. Tali layangan arané tali-goci
12. Tali bêkungkung arané klamar
13. Tali ing gêgêr arané apus-buntut
14. Tali irung arané kêluh
15. Tali sruwal arané kolor utawa usus-usus
16. Tali arloji arané karsèt
17. Tali wêngku arané jêjêt
18. Tali pêcut arané upat-upat
19. Tali bênang layangan arané ulur
20. Tali sêndarèn arané sêndhêng
21. Tali lar pênjawat arané godhi
22. Tali kêndhali arané lis

dening: ndalem Mbah Doel

Araning Woh-wohan

ARANING GODHONG

01. Godhong arèn arané dliring
02. Godhong asêm arané sinom
03. Godhong awar-awar arané dongèng
04. Godhong cipir arané cêthèthèt
05. Godhong cocor bèbèk arané tiba urip
06. Godhong dhadhap arané tawa
07. Godhong gêbang arané kajang
08. Godhong jarak arané blêdhèg
09. Godhong jarak kêbo arané lomah-lamèh
10. Godhong jipang arané bêthêthêt
11. Godhong jambé arané procot utawa dêdêl
12. Godhong krambil arané sing isih enom : janur, sing wis tuwo :blarak
13. Godhong kimpul arané lumbu
14. Godhong kacang brul arané rèndèng
15. Godhong kacang dawa arané lêmbayung
16. Godhong katès arané gamplèng
17. Godhong kara arané brobos
18. Godhong kélor arané limaran utawa sapu jagad
19. Godhong kêtéla rambat arané jlégor
20. Godhong lêmpuyang arané lirih
21. Godhong lombok arané sabrang
22. Godhong mlinjo arané so
23. Godhong ijon-ijonan arané dingkik
24. Godhong ilêr arané sisikbang
25. Godhong cêkuk arané sriwadari
26. Godhong kimpul alas arané kombang
27. Godhong pohung arané kopral
28. Godhong pring arané larmanyura
29. Godhong randhu arané baladéwa utawa cêmara kandhi
30. Godhong pari arané damèn
31. Godhong turi arané pêthuk
32. Godhong wuni arané pojar utawa mojar
33. Godhong widara putih arané trawas

ARANING WOH

01. Woh arèn arané kolang-kaling
02. Woh bêsusu arané bêngkowang (ing dhuwur)
03. Woh gêbang arané krandhing
04. Woh pucung arané kluwak
05. Woh sambi arané kêcacil
06. Woh so arané mlinjo
07. Woh uwi arané katak
08. Woh turi arané klênthang
09. Woh kanthil arané gandhèk
10. Woh widara putih arané anyang

ARANING ISI/WIJI

01. Isi asem arané klungsu
02. Isi kêcipir arané botor
03. Isi durèn arané ponggé
04. Isi kluwih arané bêthêm
05. Isi nangka arané bêton
06. Isi sawo arané kêcik
07. Isi bêndha arané gundhu
08. Isi pêlêm arané pêlok
09. Isi kapas arané wuku
10. Isi randhu arané klênthêng
11. Isi sêmangka arané kwaci
12. Isi salak arané géyol utawa kênthos
13. Isi mlinjo arané klathak
14. Isi jambé arané jêbug
15. Isi tanjung arané kêcik (isi sawo uga aran kêcik)


ARANING PÊNTIL

01. Pêntil asêm arané cempaluk
02. Pêntil jambu arané karuk
03. Pêntil pêlêm arané kruntil utawa bajangan
04. Pêntil nangka arané gori utawa tèwèl
05. Pêntil randhu arané karuk (padha karo pêntil jambu)
06. Pêntil jambé arané blèbèr
07. Pêntil jagung arané jantênan utawa putrèn
08. Pêntil krambil arané bluluk-cêngkir-dêgan
09. Pêntil mlinjo arané kroto
10. Pêntil sêmangka arané gêndhoyo
11. Pêntil manggis arané blibar

dening: ndalem Mbah Doel

Arane Kembang

ARANING KEMBANG

01. Kembang aren arane dangu
02. Kembang asem arane mengos
03. Kembang alang-alang arane mublak
04. Kembang apukat arane kenes
05. Kembang apel arane rantas
06. Kembang bawang arane jelanthir
07. Kembang blimbing arane maya
08. Kembang anggrung arane dumeh
09. Kembang bakung arane gapyuk
10. Kembang bayem arane rintip
11. Kembang bentul arane gandhen
12. Kembang brambang arane blalo
13. Kembang bengle arane layu
14. Kembang erut arane sundel utawa greneng/gremeng
15. Kembang cabe arane suguh
16. Kembang cangkring arane rongeh
17. Kembang cengkih arane polong
18. Kembang cempaka arane gadhing
19. Kembang duren arane dlongop
20. Kembang dringo arane sendrang
21. Kembang dhadhap arane kecelung
22. Kembang dlima arane aku
23. Kembang gambas arane mausari
24. Kembang ganjong arane glelong
25. Kembang glagah arane glonggong
26. Kembang gadhung arane cengonglong
27. Kembang gedhang arane tuntut
28. Kembang jae arane lirik
29. Kembang jarak arane ajeg
30. Kembang jeruk arane alon/ngrenthel
31. Kembang jambu arane karuk
32. Kembang jati arane janggleng
33. Kembang jambe arane mayang
34. Kembang jambu mete arane lancang
35. Kembang kara arane calak utawa kepek
36. Kembang kelor arane bekethek
37. Kembang kemangi arane gribis
38. Kembang kemiri arane tratab
39. Kembang kenthang arane kapiran
40. Kembang klengkeng arane ambek
41. Kembang kluwih arane onthel
42. Kembang jengkol arane kecuwis
43. Kembang kobis arane idhep
44. Kembang kunir arane galih
45. Kembang kacang arane besengut/bundhel
46. Kembang kedhondhong arane liyer
47. Kembang jagung arane sinuwun utawa jembut
48. Kembang krokot arane nonik
49. Kembang kedhawung arane riyip
50. Kembang kapas arane kadi utawa kapi
51. Kembang kopi arane blanggreng
52. Kembang kimpul arane pancal utawa pacal
53. Kembang kecubung arane corong/torong
54. Kembang kangkung arane klengser
55. Kembang kencur arane sedhet
56. Kembang kates arane jenthit
57. Kembang krambil arane manggar
58. Kembang kelor arane limaran (godhonge uga limaran)
59. Kembang lampes arane ninggil
60. Kembang laos arane jethot
61. Kembang lamtara arane jemu
62. Kembang lombok arane pelik
63. Kembang luntas arane trapus
64. Kembang mlandhing arane jedhindhit
65. Kembang mundhu arane kocok utawa meped
66. Kembang maja arane jejer
67. Kembang manggis arane kenthet
68. Kembang mlathi arane peni
69. Kembang mlinjo arane uceng
70. Kembang nangka arane angkup atawa babal
71. Kembang nipah arane dongong
72. Kembang nanas arane katur
73. Kembang kanthil arane gadhing
74. Kembang pandhan arane pudhak
75. Kembang pohung arane ingklik
76. Kembang pring arane krosak
77. Kembang pace arane sarweteh
78. Kembang pete arane pendhul
79. Kembang lempuyang arane greng
80. Kembang pala arane bablas
81. Kembang pari arane jepun
82. Kembang randhu arane karuk (padha karo kembang jambu)
83. Kembang sawo arane rikuh
84. Kembang suruh arane drenges
85. Kembang salak arane ketheker
86. Kembang tales arane puncak
87. Kembang turi arane tronggong
88. Kembang terong arane duga-duga
89. Kembang tebu arane gleges
90. Kembang timun arane montro
91. Kembang temu arane purek
92. Kembang widuri arane brondong
93. Kembang waluh arane doblog
dening: ndalem mbah doel

Rura Basa

Tembung rura basa ateges basa rusak, basa kang wis luput kelantur-lantur, nganti ora kena dibenerake maneh. Ora kena dibenerake jalaran pancen wis ora lumrah dibenerake.
Tuladhane kaya ing ngisor iki .
01. adang sega, benere: adang beras supaya dadi sega
02. njait Klambu. benere: njait bahan/kain supaya dadi klambi
03. mbunteli tempe, benere: mbunteli kedhele kang wis digodhog lan dirageni, supaya dadi tempe.
04. menek krambil, benere: menek wit krambil, yaiku glugu.
05. mikul dhawet, benere: mikul genthong cilik (utawa wadhah liyane ) isi dhawet
06. ngenam klasa, benere: ngenam mendhong supaya dadi klasa
07. nulis layang, benere: nulisi dluwang supaya dadi layang
08. nguleg sambel, benere: nguleg lombok, brambang, tomat, trasi lan uyah supaya dadi sambel
09. ndheplok gethuk, benere: ndheplok pohung kang wis digodhog supaya dadi gethuk
10. nggodog wedang, benere: nggodog banyu supaya dadi wedang.

Tembung Plutan

TEMBUNG PLUTAN

Tembung plutan yaiku tembung kang wandane loro kang dirangkep didadekake sawanda.
01. para dadi pra
02. kiyat dadi kyat
03. suwara dadi swara
04. murih dadi mrih
05. weruh dadi wruh
06. sari dadi sri
07. suwarga dadi swarga
08. sarana dadi srana
09. dicuwowo dadi dicwowo
10. suwasa dadi swasa
11. kuluban dadi kluban
12. gumerit dadi gumrit
13. kuwalon dadi kwalon
14. deres dadi dres
15. kuwasa dadi kwasa
16. serat dadi srat
17. purihen dadi prihen
18. keras dadi kras
19. dereng dadi dreng
20. sinarawedi dadi sinrawedi
21. samaya dadi smaya
22. seret dadi sret
23. sumangkeyan dadi smangkeyan
24. sakarepmu dadi skarepmu
25. saprongkal dadi sprongkal
26. ketambuhan dadi ktambuhan
27. telulikur dadi tlulikur
28. suwidak dadi swidak
29. suwasa dadi swasa
30. pinerang dadi pinrang
31. cuwiri dadi cwiri
32. welas dadi wlas
33. gumantung dadi gmantung
34. sinerang dadi sinrang
dening: Ndalem Mbah Doel