Kamis, 02 Desember 2010

Sejarah Wayang

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti "bayangan".
Jika ditinjau dari arti filsafatnya "wayang" dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain.
Sebagai alat untuk memperagakan suatu ceritera wayang.
Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh beberapa orang penabuh gamelan dan satu atau dua orang waranggana sebagai vokalisnya.
Di samping itu, seorang dalang kadang kadang juga mempunyai seorang pembantu khusus untuk dirinya, yang bertugas untuk mengatur wayang sebelum permainan dimulai dan mempersiapkan jenis tokoh wayang yang akan dibutuhkan oleh dalang dalam menyajikan ceritera.
Fungsi dalang di sini adalah mengatur jalannya pertunjukan secara keseluruhan.
Dialah yang memimpin semua crewnya untuk luluh dalam alur ceritera yang disajikan.
Bahkan sampai pada adegan yang kecil-kecilpun harus ada kekompakan di antara semua crew kesenian tersebut.
Dengan demikian, di samping dituntut untuk bisa menghayati masing-masing karakter dari tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan, seorang dalang juga harus mengerti tentang gending (lagu).
Desain lantai yang dipergunakan dalam permainan wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, seorang dalang dibatasi oleh alas yang dipakai untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang dikenal set kanan dan set kiri.
Set kanan merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan set kiri adalah tempat tokoh-tokoh angkara murka.
Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak.
Untuk memperagakan berbagai setting/dekorasi dan pergantian adegan biasanya dipakai simbol berupa gunungan.
Pertunjukan wayang bisa dilakukan pada siang maupun malam hari, atau sehari semalam.
Lama pertunjukan untuk satu lakon adalah sekitar 7 sampai 8 jam.
Instrumen musik yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap adalah gamelan Jawa pelog dan slendro, tetapi bila tidak lengkap yang biasa digunakan adalah dan jenis slendro saja.
Vokalis putri dalam iringan musik yang disebut waranggono bisa satu orang atau lebih.
Di samping itu, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wirasuara, yang jumlahnya 4 sampai 6 orang dan bertugas mengiringi waranggana dengan suara "koor".
Vokalis pria ini bisa disediakan khusus atau dirangkap oleh penabuh gamelan, sehingga penabuh gamelan adalah juga penggerong.
Dalam menentukan lakon yang akan disajikan seorang dalang tidak bisa begitu saja memilih sesuai dengan kehendaknya.
Ia dibatasi oleh beberapa faktor.
Diantaranya adalah:
(1) jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan;
(2) kepercayaan masyarakat sekitarnya;
(3) keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.
Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa disajikan lewat wayang-wayang tersebut.
Seperangkat wayang kulit misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana.
Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak.
Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, ini dikarenakan tokoh tokoh yang ada dalam wayang-wayang tersebut memang sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon (ceritera-ceritera) tertentu.
Dalam suatu masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak kita jumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang.
Sebagian masyarakat misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan.
Apabila pantangan ini dilanggar, orang yakin bahwa keluarga tersebut akan mengalami kesusahan.
Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya.
Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang.
Untuk suatu upacara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan juga tertentu.
Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan adalah "Kondure Dewi Sri" (Pulangnya Dewi Sri), sedangkan untuk upacara ngruwat lakonnya adalah Batara Kala.
Selain batasan-batasan ini lakon wayang sering kali juga ditentukan oleh permintaan penanggap2 atau atas kesepakatan antara pihak dalang dan penanggap wayang.
Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia pendapat dari beberapa ahli dapat digunakan sebagai pedoman untuk memaparkan hal ini.
Salah satu pendapat yang didukung oleh data yang kuat disampaikan oleh Sri Mulyono. Mengenai timbulnya pertunjukan wayang ini Mulyono berpendapat bahwa pertunjukan wayang kulit dalam bentuknya yang asli, yaitu dengan segala sarana pentas / peralatannya yang serba sederhana, yang pada garis besarnya sama dengan yang sekarang kita lihat, yaitu dengan menggunakan wayang dari kulit diukir (ditatah), kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya, sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya orang Indonesia asli di Jawa, sedangkan timbulnya jauh sebelum kebudayaan Hindu datang.
Pertunjukan wayang kulit ini pada dasarnya merupakan upacara keagamaan atau upacara yang berhubungan dengan kepercayaan untuk menuju "Hyang", dilakukan di malam hari oleh seorang medium (syaman) atau dikerjakan sendiri oleh kepala keluarga dengan mengambil ceritera-ceritera dari leluhur atau nenek moyangnya.
Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berhubungan dengan roh nenek moyang guna memohon pertolongan dan restunya apabila keluarga itu akan memulai atau telah selesai menunaikan suatu tugas.
Upacara semacam ini diperkirakan timbul pada jaman Neohithik Indonesia atau pada ± tahun 1500 SM.
Dalam perkembangannya kemudian upacara ini dikerjakan oleh seorang yang memiliki keahlian, atau menjadikannya suatu pekerjaan tetap, yang disebut dalang.
Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap namun tetap mempertahankan fungsi intinya, yaitu sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan sistim kepercayaan dan pendidikan.
Berkenaan dengan perkembangan kesenian wayang ini sebagai ibu kota kerajaan Mataram Baru, Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habiranda pada tahun 1925 di kota ini.
Kini para dalang lulusan sekolah Habiranda banyak tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengenai jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, ternyata ada beberapa jenis yaitu: Wayang Kulit/ Purwa; Wayang Klithik; Wayang Golek dan Wayang Orang.

WAYANG KULIT PURWO

Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu atau kambing).
Wayang kulit dipakai untuk memperagakan Lakon lakon dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa.
Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat seperti: bersih desa, ngruwat dan lain-lain.
Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung.
Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara.
Rata-rata pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi.
Bila dilakukan pada siang hari pertunjukan biasanya dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00.
Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak.
Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang kulit, jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya.
Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya.
Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan.
Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang pengetahuannya diperoleh lewat keturunan.
Meskipun demikian, seorang dalang diberi kesempatan pula untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti ceritera pokok saja.
Untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting.
Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini.
Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka.
Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri.
Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya.
Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan.
Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna, Werkudara dan lain-lain.
Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar.
Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi.
Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran), petromak, sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik.


WAYANG KLITHIK

Wayang klithik terbuat dari kayu dengan dua dimensi (pipih) yang hampir mendekati bentuk wayang kulit.
Terdapat persamaan antara wayang kulit dengan wayang klithik, misalnya pada gamelan, vokalis, bahasa yang digunakan dalam dialog, desain lantai, alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan dan lain-lain.
Meskipun demikian, banyak juga kita jumpai perbedaan-perbedaannya.
Pertunjukan wayang klithik umumnya hanya berfungsi sebagai tontonan biasa yang kadang-kadang di dalamnya diselipkan penerangan-penerangan dari pemerintah. Setting panggung sedikit agak berbeda dengan wayang kulit.
Wayang klithik ini meskipun desain lantainya berupa garis lurus, tetapi tidak menggunakan layar, untuk menancapkan wayang digunakan bambu yang sudah dilubangi.
Ceritera yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang klithik diambil dari ceritera babad, dan umumnya hanya diambil dari babad Majapahit, mulai dari masuknya Damarwulan menjadi abdi sampai dia menjadi raja.
Dalang dalang wayang klithik umumnya memperoleh pengetahuan tentang kesenian dari orang tua mereka yang juga dalang wayang klithik. Lembaga pendidikan untuk dalang wayang klithik tidak dijumpai, sebab wayang klithik memang kurang populer dalam masyarakat.

WAYANG GOLEK

Seperti halnya wayang klithik wayang golek juga terbuat dari kayu, tetapi wayang golek memiliki tiga dimensi (seperti boneka).
Wayang golek ini lebih realis dibanding dengan wayang kulit dan wayang klithik, sebab selain bentuknya menyerupai bentuk badan manusia dia juga dilengkapi dengan kostum yang terbuat dari kain.
Pertunjukan wayang golek selain untuk tontonan biasa, juga masih sering dipentaskan sebagai upacara bersih desa.
Lakon yang diperagakan berasal dari babad Menak yaitu sejarah tanah Arab menjelang kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.
Menurut keterangan, ceritera ini dikarang oleh Pujangga Ronggowarsito.
Berbeda dengan wayang kulit, warna rias muka wayang golek cukup jelas penggolongan simbolisnya, yakni sebagai berikut:
(1) warna merah untuk watak kemurkaan,
(2) warna putih untuk watak baik dan jujur,
(3) wama merah jambu untuk watak setengah-setengah,
(4) warna hijau untuk watak tulus,
(5) warna hitam untuk watak kelanggengan.
Kostum wayang juga menunjukkan status dan peranannya.
Misalnya saja, kostum topong adalah untuk peran raja, kostum jangkangan untuk peran satria, kostum jubah untuk peran pendeta, kostum rompi untuk peran cantrik, dan kostum serban untuk peran adipati.
Pendidikan kesenian dalang wayang golek juga mirip wayang klithik, yaitu berasal dari pengalaman atau ajaran orang tua yang juga dalang.

WAYANG ORANG

Wayang Orang merupakan bentuk perwujudan dari wayang kulit yang diperagakan oleh manusia.
Jadi kesenian wayang orang ini merupakan refleksi dari wayang kulit. Bedanya, wayang orang ini bisa bergerak dan berdialog sendiri.
Fungsi dan pementasan Wayang Orang, disamping sebagai tontonan biasa kadang-kadang juga digunakan untuk memenuhi nadzar.
Sebagaimana dalam wayang kulit, lakon yang biasa dibawakan dalam Wayang Orang juga bersumber dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana. Kesenian Wayang Orang yang hidup dewasa ini pada dasarnya terdiri dari dua aliran yaitu gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta.
Perbedaan yang ada di antara dua aliran terdapat terutama pada intonasi dialog, tan, dan kostum.
Dialog dalam Wayang Orang gaya Surakarta lebih bersifat realis sesuai dengan tingkatan emosi dan suasana yang terjadi, dan intonasinya agak bervariasi.
Dalam Wayang Orang gaya Yogyakarta dialog distilisasinya sedemikian rupa dan mempunyai pola yang monoton.
Hampir semua group Wayang Orang yang dijumpai menggunakan dialog gaya Surakarta.
Jika toh ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya terdapat pada tarian atau kadangkadang pada kostum.
Untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang orang secara lengkap, biasanya dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang, yang terdiri dan:
(1) 20 orang sebagai pemain (terdiri dari pria dan wanita);
(2) 12 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara;
(3) 2 orang sebagai waranggana;
(4) 1 orang sebagai dalang.
Dalam pertunjukan Wayang Orang, fungsi dalang yang juga merupakan sutradara tidak seluas seperti pada wayang kulit.
Dalang wayang orang bertindak sebagai pengatur perpindahan adegan, yang ditandai dengan suara suluk atau monolog.
Dalam dialog yang diucapkan oleh pemain, sedikit sekali campur tangan dalang. Dalang hanya memberikan petunjuk-petunjuk garis besar saja. Selanjutnya pemain sendiri yang harus berimprovisasi dengan dialognya sesuai dengan alur ceritera yang telah diberikan oleh sang dalang.
Pola kostum dan make up Wayang Orang disesuaikan dengan bentuk (patron) wayang kulit, sehingga pola tersebut tidak pernah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertunjukan Wayang Orang menggunakan konsep pementasan panggung yang bersifat realistis.
Setiap gerak dari pemain dilakukan dengan tarian, baik ketika masuk panggung, keluar panggung, perang ataupun yang lain-lain.
Gamelan yang dipergunakan seperti juga dalam wayang kulit adalah pelog dan slendro dan bila tidak lengkap biasanya dipakai yang slendro saja.
Lama pertunjukan wayang orang biasanya sekitar 7 atau 8 jam untuk satu lakon, biasanya dilakukan pada malam hari.
Pertunjukan pada siang hari jarang sekali dilakukan.
Sebelum pertunjukan di mulai sering ditampilkan pra-tontonan berupa atraksi tari-tarian yang disebut ekstra, yang tidak ada hubungannya dengan lakon utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar