Rabu, 15 Desember 2010

Sejarah Aksara Jawa Legenda Hanacaraka

Sejarah Aksara Jawa Legenda Hanacaraka
1. Sejarah Aksara Jawa Legenda Hanacaraka Aksara Jawa Hanacaraka itu berasal dari aksara Brahmi yang asalnya dari Hindhustan. Di negeri Hindhustan tersebut terdapat bermacam-macam aksara, salah satunya yaitu aksara Pallawa yang berasal dari Indhia bagian selatan. Dinamakan aksara Pallawa karena berasal dari salah satu kerajaan yang ada di sana yaitu Kerajaan Pallawa. Aksara Pallawa itu digunakan sekitar pada abad ke-4 Masehi. Di Nusantara terdapat bukti sejarah berupa prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, antara lain: aksara hanacaraka , aksara Rencong (aksara Kaganga), Surat Batak, Aksara Makassar dan Aksara Baybayin (aksara di Filipina)[1]. Profesor J.G. de Casparis dari Belanda, yaitu pakar paleografi atau ahli ilmu sejarah aksara, mengutarakan bahwa aksara hanacaraka itu dibagi menjadi lima masa utama, yaitu: a. Aksara Pallawa Aksara Pallawa itu berasal dari India Selatan. Jenis aksara ini mulai digunakan sekitar abad ke 4 dan abad ke 5 masehi. Salah satu bukti penggunaan jenis aksara ini di Nusantara adalah ditemukannya prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur. Aksara ini juga digunakan di Pulau Jawa, yaitu di Tatar Sundha di Prasasti tarumanegara yang ditulis sekitar pada tahun 450 M. di tanah Jawa sendiri, aksara ini digunakan pada Prasasti Tuk Mas dan Prasasti Canggal. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, termasuk aksara hanacaraka. Kalau diperhatikan, aksara Pallawa ini bentuknya segi empat. Dalam bahasa Inggris, perkara ini disebut sebagai huruf box head atau square head-mark. Walaupun aksara Pallawa ini sudah digunakan sejak abad ke-4, namun bahasa Nusantara asli belum ada yang ditulis dalam aksara ini. Gambar 2.1 Prasasti Yupa b. Aksara Kawi Wiwitan Perbedaan antara aksara Kawi Wiwitan dengan aksara Pallawa itu terutama terdapat pada gayanya. Aksara Pallawa itu dikenal sebagai salah satu aksara monumental, yaitu aksara yang digunakan untuk menulis pada batu prasasti. Aksara Kawi Wiwitan utamanya digunakan untuk nulis pada rontal, oleh karena itu bentuknya menjadi lebih kursif. Aksara ini digunakan antara tahun 750 M sampai 925 M. Prasasti-prasasti yang ditulis dengan menggunakan aksara ini jumlahnya sangatlah banyak, kurang lebih 1/3 dari semua prasasti yang ditemukan di Pulau jawa. Misalnya pada Prasasti Plumpang (di daerah Salatiga) yang kurang lebih ditulis pada tahun 750 M. Prasasti ini masih ditulis dengan bahasa Sansekerta. c. Aksara Kawi Pungkasan Kira-kira setelah tahun 925, pusat kekuasaan di pulau Jawa berada di daerah jawa timur. Pengalihan kekuasaan ini juga berpengaruh pada jenis aksara yang digunakan. Masa penggunaan aksara Kawi Pungkasan ini kira-kira mulai tahun 925 M sampai 1250 M. Sebenarnya aksara Kawi Pungkasan ini tidak terlalu banyak perbedaannya dengan aksara Kawi Wiwitan, namun gayanya saja yang menjadi agak beda. Di sisi lain, gaya aksara yang digunakan di Jawa Timur sebelum tahun 925 M juga sudah berbeda dengan gaya aksara yang digunakan di Jawa tengah. Jadi perbedaan ini tidak hanya perbedaan dalam waktu saja, namun juga pada perbedaan tempatnya. Pada masa itu bisa dibedakan empat gaya aksara yang berbeda-beda, yaitu; 1) Aksara Kawi Jawa Wetanan pada tahun 910-950 M; 2) Aksara Kawi Jawa Wetanan pada jaman Prabu Airlangga pada tahun 1019-1042 M; 3) Aksara Kawi Jawa Wetanan Kedhiri kurang lebih pada tahun 1100-1200 M; 4) Aksara Tegak (quadrate script) masih berada di masa kerajaan Kedhiri pada tahun 1050-1220 M d. Aksara Majapahit Dalam sejarah Nusantara pada masa antara tahun 1250-1450 M, ditandai dengan dominasi Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Aksara Majapahit ini juga menunjukkan adanya pengaruh dari gaya penulisan di rontal dan bentuknya sudah lebih indah dengan gaya semi kaligrafis. Contoh utama gaya penulisan ini adalah terdapat pada Prasasti Singhasari yang diperkirakan pada tahun 1351 M. gaya penulisan aksara gaya Majapahit ini sudah mendekati gaya modern. Gambar 2.2 Prasasti Singhasari e. Aksara Pasca Majapahit Setelah naman Majapahit yang menurut sejarah kira-kira mulai tahun 1479 sampai akhir abad 16 atau awal abad 17 M, merupakan masa kelam sejarah aksara Jawa. Karena setelah itu sampai awal abad ke-17 M, hampir tidak ditemukan bukti penulisan penggunaan aksara jawa, tiba-tiba bentuk aksara Jawa menjadi bentuk yang modern. Walaupun demikian, juga ditemukan prasasti yang dianggap menjadi “missing link” antara aksara Hanacaraka dari jaman Jawa kuna dan aksara Budha yang sampai sekarang masih digunakan di tanah Jawa, terutama di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Merbabu sampai abad ke-18. Prasasti ini dinamakan dengan Prasasti Ngadoman yang ditemukan di daerah Salatiga. Namun, contoh aksara Budha yang paling tua digunakan berasal dari Jawa barat dan ditemukan dalam naskah-naskah yang menceritakan Kakawin Arjunawiwaha dan Kunjarakarna. Gambar 2.3 Prasasti Ngadoman f. Munculnya Aksara Hanacaraka Baru Setelah jaman Majapahit, muncul jaman Islam dan juga Jaman Kolonialisme Barat di tanah Jawa. Dijaman ini muncul naskah-naskah manuskrip yang pertama yang sudah menggunakan aksara Hanacaraka baru. Naskah-naskah ini tidak hanya ditulis di daun palem (rontal atau nipah) lagi, namun juga di kerta dan berwujud buku atau codex (“kondheks”). Naskah-naskah ini ditemukan di daerah pesisir utara Jawa dan dibawa ke Eropa pada abad ke 16 atau 17. Gambar 2.4 Naskah Aksara Jawa Bentuk dari aksara Hanacaraka baru ini sudah berbeda dengan aksara sebelumnya seperti aksara Majapahit. Perbedaan utama itu dinamakan serif tambahan di aksara Hanacaraka batu. Aksara-aksara Hanacaraka awal ini bentuknya mirip semua mulai dari Banten sebelah barat sampai Bali. Namun, akhirnya beberapa daerah tidak menggunakan aksara hanacaraka dan pindhah menggunakan pegon dan aksara hanacaraka gaya Durakarta yang menjadi baku. Namun dari semua aksara itu, aksara Bali yang bentuknya tetap sama sampai abad ke-20. Aksara Pallawa ini digunakan di Nusantara dari abad ke-4 sampai kurang lebih abad ke-8. Lalu aksara Kawi Wiwitan digunakan dari abad ke-8 samapai abad ke-10, terutama di Jawa Tengah[2]. [1] Anonimousc. 2009. Hanacaraka Saka Wikipedia, Ensiklopedia Bebas Ing Basa Jawa. Http://www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 12 Februari 2009 Hal. 3 [2] Anonimousc. 2009. Hanacaraka Saka Wikipedia, Ensiklopedia Bebas Ing Basa Jawa. Http://www.w

Kamis, 02 Desember 2010

Sejarah Wayang

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti "bayangan".
Jika ditinjau dari arti filsafatnya "wayang" dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain.
Sebagai alat untuk memperagakan suatu ceritera wayang.
Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh beberapa orang penabuh gamelan dan satu atau dua orang waranggana sebagai vokalisnya.
Di samping itu, seorang dalang kadang kadang juga mempunyai seorang pembantu khusus untuk dirinya, yang bertugas untuk mengatur wayang sebelum permainan dimulai dan mempersiapkan jenis tokoh wayang yang akan dibutuhkan oleh dalang dalam menyajikan ceritera.
Fungsi dalang di sini adalah mengatur jalannya pertunjukan secara keseluruhan.
Dialah yang memimpin semua crewnya untuk luluh dalam alur ceritera yang disajikan.
Bahkan sampai pada adegan yang kecil-kecilpun harus ada kekompakan di antara semua crew kesenian tersebut.
Dengan demikian, di samping dituntut untuk bisa menghayati masing-masing karakter dari tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan, seorang dalang juga harus mengerti tentang gending (lagu).
Desain lantai yang dipergunakan dalam permainan wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, seorang dalang dibatasi oleh alas yang dipakai untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang dikenal set kanan dan set kiri.
Set kanan merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan set kiri adalah tempat tokoh-tokoh angkara murka.
Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak.
Untuk memperagakan berbagai setting/dekorasi dan pergantian adegan biasanya dipakai simbol berupa gunungan.
Pertunjukan wayang bisa dilakukan pada siang maupun malam hari, atau sehari semalam.
Lama pertunjukan untuk satu lakon adalah sekitar 7 sampai 8 jam.
Instrumen musik yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap adalah gamelan Jawa pelog dan slendro, tetapi bila tidak lengkap yang biasa digunakan adalah dan jenis slendro saja.
Vokalis putri dalam iringan musik yang disebut waranggono bisa satu orang atau lebih.
Di samping itu, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wirasuara, yang jumlahnya 4 sampai 6 orang dan bertugas mengiringi waranggana dengan suara "koor".
Vokalis pria ini bisa disediakan khusus atau dirangkap oleh penabuh gamelan, sehingga penabuh gamelan adalah juga penggerong.
Dalam menentukan lakon yang akan disajikan seorang dalang tidak bisa begitu saja memilih sesuai dengan kehendaknya.
Ia dibatasi oleh beberapa faktor.
Diantaranya adalah:
(1) jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan;
(2) kepercayaan masyarakat sekitarnya;
(3) keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.
Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa disajikan lewat wayang-wayang tersebut.
Seperangkat wayang kulit misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana.
Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak.
Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, ini dikarenakan tokoh tokoh yang ada dalam wayang-wayang tersebut memang sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon (ceritera-ceritera) tertentu.
Dalam suatu masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak kita jumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang.
Sebagian masyarakat misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan.
Apabila pantangan ini dilanggar, orang yakin bahwa keluarga tersebut akan mengalami kesusahan.
Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya.
Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang.
Untuk suatu upacara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan juga tertentu.
Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan adalah "Kondure Dewi Sri" (Pulangnya Dewi Sri), sedangkan untuk upacara ngruwat lakonnya adalah Batara Kala.
Selain batasan-batasan ini lakon wayang sering kali juga ditentukan oleh permintaan penanggap2 atau atas kesepakatan antara pihak dalang dan penanggap wayang.
Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia pendapat dari beberapa ahli dapat digunakan sebagai pedoman untuk memaparkan hal ini.
Salah satu pendapat yang didukung oleh data yang kuat disampaikan oleh Sri Mulyono. Mengenai timbulnya pertunjukan wayang ini Mulyono berpendapat bahwa pertunjukan wayang kulit dalam bentuknya yang asli, yaitu dengan segala sarana pentas / peralatannya yang serba sederhana, yang pada garis besarnya sama dengan yang sekarang kita lihat, yaitu dengan menggunakan wayang dari kulit diukir (ditatah), kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya, sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya orang Indonesia asli di Jawa, sedangkan timbulnya jauh sebelum kebudayaan Hindu datang.
Pertunjukan wayang kulit ini pada dasarnya merupakan upacara keagamaan atau upacara yang berhubungan dengan kepercayaan untuk menuju "Hyang", dilakukan di malam hari oleh seorang medium (syaman) atau dikerjakan sendiri oleh kepala keluarga dengan mengambil ceritera-ceritera dari leluhur atau nenek moyangnya.
Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berhubungan dengan roh nenek moyang guna memohon pertolongan dan restunya apabila keluarga itu akan memulai atau telah selesai menunaikan suatu tugas.
Upacara semacam ini diperkirakan timbul pada jaman Neohithik Indonesia atau pada ± tahun 1500 SM.
Dalam perkembangannya kemudian upacara ini dikerjakan oleh seorang yang memiliki keahlian, atau menjadikannya suatu pekerjaan tetap, yang disebut dalang.
Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap namun tetap mempertahankan fungsi intinya, yaitu sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan sistim kepercayaan dan pendidikan.
Berkenaan dengan perkembangan kesenian wayang ini sebagai ibu kota kerajaan Mataram Baru, Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habiranda pada tahun 1925 di kota ini.
Kini para dalang lulusan sekolah Habiranda banyak tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengenai jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, ternyata ada beberapa jenis yaitu: Wayang Kulit/ Purwa; Wayang Klithik; Wayang Golek dan Wayang Orang.

WAYANG KULIT PURWO

Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu atau kambing).
Wayang kulit dipakai untuk memperagakan Lakon lakon dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa.
Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat seperti: bersih desa, ngruwat dan lain-lain.
Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung.
Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara.
Rata-rata pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi.
Bila dilakukan pada siang hari pertunjukan biasanya dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00.
Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak.
Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang kulit, jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya.
Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya.
Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan.
Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang pengetahuannya diperoleh lewat keturunan.
Meskipun demikian, seorang dalang diberi kesempatan pula untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti ceritera pokok saja.
Untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting.
Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini.
Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka.
Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri.
Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya.
Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan.
Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna, Werkudara dan lain-lain.
Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar.
Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi.
Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran), petromak, sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik.


WAYANG KLITHIK

Wayang klithik terbuat dari kayu dengan dua dimensi (pipih) yang hampir mendekati bentuk wayang kulit.
Terdapat persamaan antara wayang kulit dengan wayang klithik, misalnya pada gamelan, vokalis, bahasa yang digunakan dalam dialog, desain lantai, alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan dan lain-lain.
Meskipun demikian, banyak juga kita jumpai perbedaan-perbedaannya.
Pertunjukan wayang klithik umumnya hanya berfungsi sebagai tontonan biasa yang kadang-kadang di dalamnya diselipkan penerangan-penerangan dari pemerintah. Setting panggung sedikit agak berbeda dengan wayang kulit.
Wayang klithik ini meskipun desain lantainya berupa garis lurus, tetapi tidak menggunakan layar, untuk menancapkan wayang digunakan bambu yang sudah dilubangi.
Ceritera yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang klithik diambil dari ceritera babad, dan umumnya hanya diambil dari babad Majapahit, mulai dari masuknya Damarwulan menjadi abdi sampai dia menjadi raja.
Dalang dalang wayang klithik umumnya memperoleh pengetahuan tentang kesenian dari orang tua mereka yang juga dalang wayang klithik. Lembaga pendidikan untuk dalang wayang klithik tidak dijumpai, sebab wayang klithik memang kurang populer dalam masyarakat.

WAYANG GOLEK

Seperti halnya wayang klithik wayang golek juga terbuat dari kayu, tetapi wayang golek memiliki tiga dimensi (seperti boneka).
Wayang golek ini lebih realis dibanding dengan wayang kulit dan wayang klithik, sebab selain bentuknya menyerupai bentuk badan manusia dia juga dilengkapi dengan kostum yang terbuat dari kain.
Pertunjukan wayang golek selain untuk tontonan biasa, juga masih sering dipentaskan sebagai upacara bersih desa.
Lakon yang diperagakan berasal dari babad Menak yaitu sejarah tanah Arab menjelang kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.
Menurut keterangan, ceritera ini dikarang oleh Pujangga Ronggowarsito.
Berbeda dengan wayang kulit, warna rias muka wayang golek cukup jelas penggolongan simbolisnya, yakni sebagai berikut:
(1) warna merah untuk watak kemurkaan,
(2) warna putih untuk watak baik dan jujur,
(3) wama merah jambu untuk watak setengah-setengah,
(4) warna hijau untuk watak tulus,
(5) warna hitam untuk watak kelanggengan.
Kostum wayang juga menunjukkan status dan peranannya.
Misalnya saja, kostum topong adalah untuk peran raja, kostum jangkangan untuk peran satria, kostum jubah untuk peran pendeta, kostum rompi untuk peran cantrik, dan kostum serban untuk peran adipati.
Pendidikan kesenian dalang wayang golek juga mirip wayang klithik, yaitu berasal dari pengalaman atau ajaran orang tua yang juga dalang.

WAYANG ORANG

Wayang Orang merupakan bentuk perwujudan dari wayang kulit yang diperagakan oleh manusia.
Jadi kesenian wayang orang ini merupakan refleksi dari wayang kulit. Bedanya, wayang orang ini bisa bergerak dan berdialog sendiri.
Fungsi dan pementasan Wayang Orang, disamping sebagai tontonan biasa kadang-kadang juga digunakan untuk memenuhi nadzar.
Sebagaimana dalam wayang kulit, lakon yang biasa dibawakan dalam Wayang Orang juga bersumber dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana. Kesenian Wayang Orang yang hidup dewasa ini pada dasarnya terdiri dari dua aliran yaitu gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta.
Perbedaan yang ada di antara dua aliran terdapat terutama pada intonasi dialog, tan, dan kostum.
Dialog dalam Wayang Orang gaya Surakarta lebih bersifat realis sesuai dengan tingkatan emosi dan suasana yang terjadi, dan intonasinya agak bervariasi.
Dalam Wayang Orang gaya Yogyakarta dialog distilisasinya sedemikian rupa dan mempunyai pola yang monoton.
Hampir semua group Wayang Orang yang dijumpai menggunakan dialog gaya Surakarta.
Jika toh ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya terdapat pada tarian atau kadangkadang pada kostum.
Untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang orang secara lengkap, biasanya dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang, yang terdiri dan:
(1) 20 orang sebagai pemain (terdiri dari pria dan wanita);
(2) 12 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara;
(3) 2 orang sebagai waranggana;
(4) 1 orang sebagai dalang.
Dalam pertunjukan Wayang Orang, fungsi dalang yang juga merupakan sutradara tidak seluas seperti pada wayang kulit.
Dalang wayang orang bertindak sebagai pengatur perpindahan adegan, yang ditandai dengan suara suluk atau monolog.
Dalam dialog yang diucapkan oleh pemain, sedikit sekali campur tangan dalang. Dalang hanya memberikan petunjuk-petunjuk garis besar saja. Selanjutnya pemain sendiri yang harus berimprovisasi dengan dialognya sesuai dengan alur ceritera yang telah diberikan oleh sang dalang.
Pola kostum dan make up Wayang Orang disesuaikan dengan bentuk (patron) wayang kulit, sehingga pola tersebut tidak pernah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertunjukan Wayang Orang menggunakan konsep pementasan panggung yang bersifat realistis.
Setiap gerak dari pemain dilakukan dengan tarian, baik ketika masuk panggung, keluar panggung, perang ataupun yang lain-lain.
Gamelan yang dipergunakan seperti juga dalam wayang kulit adalah pelog dan slendro dan bila tidak lengkap biasanya dipakai yang slendro saja.
Lama pertunjukan wayang orang biasanya sekitar 7 atau 8 jam untuk satu lakon, biasanya dilakukan pada malam hari.
Pertunjukan pada siang hari jarang sekali dilakukan.
Sebelum pertunjukan di mulai sering ditampilkan pra-tontonan berupa atraksi tari-tarian yang disebut ekstra, yang tidak ada hubungannya dengan lakon utama.

Tembung Yogaswara

TEMBUNG YOGASWARA
Tembung yogaswara iku tembung loro ateges lanang-wadon kang mung beda wandane wekasan. Dene bedane yaiku wandane kang ngarep mawa swara "a", tembunge kang mburi mawa swara "i"
01. Apsara-Apsari
02. Bathara-bathari
03. Dewa-dewi
04. Gana-gini
05. Gandarwa-gandharwi
06. Gedhana-gedhini
07. Pemudha-pemudhi
08. Prameswara-prameswari
09. Raseksa-raseksi
10. Widadara-widodari
11. Yaksa-yaksi
12. Putra-putri

Tembung Kawi

A
agni = gêni
agrå = pucúk
ajar = pandhitå
aji = ratu, råjå
akåså = awang awang
aldåkå = gunúng
ambå = aku, ingsun
ambeg = sipat
ancålå = gunung
andåkå = bantheng
anggå = awak
anggung = tansah
angkårå = lobå
apsårå = déwå
asurå = butå
ardi = gunúng
argå = gunúng
arís = alon, sarèh
arkå = srêngéngée
arså = arep
asthå = wólu
asthi = gajah
atmå = anak
atmajå = anak
aywå = åjå
B
badhåmå = gaman
bådrå = rembulan
bantålå = lêmah
barunå = sêgårå
basuki = slamêt
bathårå = déewå
bayu = angín biråwå = gagah
bråmå = gêni
bramantyå = nêsu
brangtå = kasmaran
bogå = pangan
bomantårå = langít
C
cåkå = rodhå
candhålå = daksiyå
cåndrå = rêmbulan
caråkå = utusan
catúr = papat cidrå = durjånå
ciptå = ngarang
citrå = gambaran
culikå = durjånå
D
dahånå = gêni
danåwå = butå
dhandhang = gagak
dhadhu = abang
dhatulåyå = kratón
dåså = sepuluh
datan = ora
dwipånggå = gajah
dirgantårå = awang2
dityå = butå
diyu = butå dhingín = dhisík
driyå = ati
dúk = nalikå
dúksinå = kidul
(n)dulu = ndêlêng
dutå = utusan
dwi = loro
dwijå = guru
dhúhkitå = susah
dumadi = uríp
E
ekå = siji
eksi = måtå
erawati = blêdhèg
érnåwå = sêgårå
ésa = tunggal
èsti = karêp
G
gahånå = jurang
gapurå = lawang agúng
gåtå = laku
gåtrå = baris
gegånå = awang-awang
giri = gunúng
gitå = kêmbang
gung = gêdhé
gúntúr = jugrúg
gúrnitå = gludhúg
gurúh = blêdhèg
gyå = énggal
I
ibå = gajah
imå = mégå
imålåyå = gunúng
inå = asór
indriyå = karêp
ingsún = aku
J
jålå = banyu
jålådårå = mendhúng
jaladri = sêgårå
jalanidhi = sêgårå
jalu = lanang
jalmå = wóng jawåtå = déwå
jarwå = têgês
jåyå = mênang
jênar = kuníng
juwitå = wanitå
K
kadyå = kåyå
kågå = manúk
kalbu = ati
kalokå = kesuwúr
kalpikå = ali - ali
kalyånå = linuwih
kapti = têngên
kapiyarså = karêp
kardi = kêprungu
kartå = aman
kartikå = lintang
karyå = gawé
kayún = karêp
kencånå = êmas
kéring = kiwå
kintåkå = layang
kismå = lêmah
kresnå = irêng
kukilå = manúk
kuncårå = misuwúr
kusumå = kêmbang
kuwåwå = kuwat
L
lalis = mati
lampús = mati
langkíng = irêng
lastri = bêngi
layu = mati
lêbda = pintêr
léna = mati
lír = kåyå
lóh jinawi = subúr
lokå = jagad
ludirå = getih
luhúr = mubyå
lumaksånå = mlaku

Isbat

Isbat yaiku unen-unen kang ajeg panganggone lan mawa surasa tartamtu. Isbat awujud racikaning tembung kang ndhapuk ukara, ngemu teges entar lan ngemu ‘pasemon’. Tembung ‘isbat’ tegese ‘katetepan’. Isbat saemper paribasan, tegese lumereg marang filsafat? [mbokmenawa luwih trep 'falsafah'] lan pasemon. Lumrahe dianggo istilah, konsep, utawa kredho ing ngelmu tasawuf, makripat, filsafat/falsafah kejawen, utawa idheologi ‘sangkan paran’.
Tuladha:

Golek geni adedamar
golek banyu apepikulan warih

Arane Dina lan Wuku

Arane Dina:
Ahad (Minggu) = Ditya

Senen = Soma

Selasa = Anggara

Rebo = Buddha

Kemis = Wrespati

Jum'at = Sukra

Sabtu = Tumpak


Arane Pasaran

Pon = Palguna

Wage = Cemengan

Kliwon = Kasi

Legi = Mani

Pahing = Jenar


Arane Wuku
Sawuku umure saminggu, cacahe Wuku ana 30, yaiku :


Wuku Shinta

Wuku Landhep

Wuku Wukir

Wuku Kuranthil

Wuku Tolu

Wuku Gumbreng

Wuku Warigalit

Wuku Warigagung

Wuku Julungwangi

Wuku Sungsang

Wuku Galungan

Wuku Kuningan

Wuku Langkir

Wuku Arandhasiya

Wuku Julungpujut

Wuku Pahang

Wuku Kuruwelut

Wuku Marakeh

Wuku Tambir

Wuku Medhangkungan

Wuku Maktal

Wuku Wuye

Wuku Manakil

Wuku Prangbabat

Wuku Bala

Wuku Wungu

Wuku Wayang

Wuku Kulawu

Wuku Dhukut

Wuku Watugunung

dening: ndalem Mbah Doel

Araning Panggonan lan Tali

TEMBUNG KANG ATEGES ARANING PANGGONAN

01. Kanthong wadhah dhuwit
02. Endhong wadhah panah
03. Pranji wadhah pithik
04. Kombong panggonan bèbèk
05. Rong omah ula
06. Susuh omah manuk
07. Krangkèng omah macan
08. Warangka wadhah kêris
09. Lèng omah gangsir
10. Song omah landak
11. Papon wadhah apu/injêt
12. Pragèn wadhah bumbu
13. Plangkan wadhah tumbak
14. Slêpi wadhah rokok
15. Gayor wadhah gong
16. Bothèkan wadhah jamu
17. Pok wadhah kinang
18. Padaringan wadhah bêras
19. Lumbung wadhah pari
20. Tulang wadhah jangkrik
21. Clunthang wadhah jangkrik
22. Kandhang panggonan Kebo-sapi-wêdus
23. Tala omah tawon
24. Sudhung omah cèlèng
25. Kurungan wadhah manuk
26. Pagupon omah dara
27. Sêlon wadhah trasi
28. Gêdhogan kandhang jaran
29. Tangsi panggonan saradadu
30. Mesjid panggonan sembahyang (Islam)
31. Langgar panggonan sembahyang (Islam)
32. Klênthèng panggonan sembahyang (Cina)
33. Gréja panggonan sembahyang (Kristen/Protestan/Katholik)
34. Dhompèt wadhah dhuwit
35. Patarangan omah pitik
36. Bango omah kanggo dodolan
37. Grêdu omah kanggo jaga
38. Gubug omah ing tengah sawah
39. Hotèl omah panginepan sing larang
40. Pasanggrahan omah palêrêman ing gunung
41. Bangsal omah gêdhé tur éndah
42. Balé-mangu omah kanggo ngadili
43. Panti-sari omah ing satengahing taman
44. Padhépokan omah dununging pandhita
45. Pacrabakan omah panggonane wiku
46. Balé-mandhakiya omah kanggo sêmèdi
47. Sanggar pamujan omah kanggo sêmèdi
48. Sanggar palanggatanomah kanggo sêmèdi
49. Sanggar pêmidikan omah kanggo sêmèdi
50. Sanggar pamêlênganomah kanggo sêmèdi

ARANING TALI

01. Tali pancing arané kênur
02. Tali panggalan arané ewêd
03. Tali sangkal arané jangêt
04. Tali caping arané klanthé
05. Tali sapu arané suh
06. Tali gêndhéwa arané sêndhêng/kêndhêng
07. Tali kêlir wayang arané jala-jala
08. Tali pasangan arané sawêd
09. Tali gong arané pluntur
10. Tali lapak arané ambên
11. Tali layangan arané tali-goci
12. Tali bêkungkung arané klamar
13. Tali ing gêgêr arané apus-buntut
14. Tali irung arané kêluh
15. Tali sruwal arané kolor utawa usus-usus
16. Tali arloji arané karsèt
17. Tali wêngku arané jêjêt
18. Tali pêcut arané upat-upat
19. Tali bênang layangan arané ulur
20. Tali sêndarèn arané sêndhêng
21. Tali lar pênjawat arané godhi
22. Tali kêndhali arané lis

dening: ndalem Mbah Doel

Araning Woh-wohan

ARANING GODHONG

01. Godhong arèn arané dliring
02. Godhong asêm arané sinom
03. Godhong awar-awar arané dongèng
04. Godhong cipir arané cêthèthèt
05. Godhong cocor bèbèk arané tiba urip
06. Godhong dhadhap arané tawa
07. Godhong gêbang arané kajang
08. Godhong jarak arané blêdhèg
09. Godhong jarak kêbo arané lomah-lamèh
10. Godhong jipang arané bêthêthêt
11. Godhong jambé arané procot utawa dêdêl
12. Godhong krambil arané sing isih enom : janur, sing wis tuwo :blarak
13. Godhong kimpul arané lumbu
14. Godhong kacang brul arané rèndèng
15. Godhong kacang dawa arané lêmbayung
16. Godhong katès arané gamplèng
17. Godhong kara arané brobos
18. Godhong kélor arané limaran utawa sapu jagad
19. Godhong kêtéla rambat arané jlégor
20. Godhong lêmpuyang arané lirih
21. Godhong lombok arané sabrang
22. Godhong mlinjo arané so
23. Godhong ijon-ijonan arané dingkik
24. Godhong ilêr arané sisikbang
25. Godhong cêkuk arané sriwadari
26. Godhong kimpul alas arané kombang
27. Godhong pohung arané kopral
28. Godhong pring arané larmanyura
29. Godhong randhu arané baladéwa utawa cêmara kandhi
30. Godhong pari arané damèn
31. Godhong turi arané pêthuk
32. Godhong wuni arané pojar utawa mojar
33. Godhong widara putih arané trawas

ARANING WOH

01. Woh arèn arané kolang-kaling
02. Woh bêsusu arané bêngkowang (ing dhuwur)
03. Woh gêbang arané krandhing
04. Woh pucung arané kluwak
05. Woh sambi arané kêcacil
06. Woh so arané mlinjo
07. Woh uwi arané katak
08. Woh turi arané klênthang
09. Woh kanthil arané gandhèk
10. Woh widara putih arané anyang

ARANING ISI/WIJI

01. Isi asem arané klungsu
02. Isi kêcipir arané botor
03. Isi durèn arané ponggé
04. Isi kluwih arané bêthêm
05. Isi nangka arané bêton
06. Isi sawo arané kêcik
07. Isi bêndha arané gundhu
08. Isi pêlêm arané pêlok
09. Isi kapas arané wuku
10. Isi randhu arané klênthêng
11. Isi sêmangka arané kwaci
12. Isi salak arané géyol utawa kênthos
13. Isi mlinjo arané klathak
14. Isi jambé arané jêbug
15. Isi tanjung arané kêcik (isi sawo uga aran kêcik)


ARANING PÊNTIL

01. Pêntil asêm arané cempaluk
02. Pêntil jambu arané karuk
03. Pêntil pêlêm arané kruntil utawa bajangan
04. Pêntil nangka arané gori utawa tèwèl
05. Pêntil randhu arané karuk (padha karo pêntil jambu)
06. Pêntil jambé arané blèbèr
07. Pêntil jagung arané jantênan utawa putrèn
08. Pêntil krambil arané bluluk-cêngkir-dêgan
09. Pêntil mlinjo arané kroto
10. Pêntil sêmangka arané gêndhoyo
11. Pêntil manggis arané blibar

dening: ndalem Mbah Doel

Arane Kembang

ARANING KEMBANG

01. Kembang aren arane dangu
02. Kembang asem arane mengos
03. Kembang alang-alang arane mublak
04. Kembang apukat arane kenes
05. Kembang apel arane rantas
06. Kembang bawang arane jelanthir
07. Kembang blimbing arane maya
08. Kembang anggrung arane dumeh
09. Kembang bakung arane gapyuk
10. Kembang bayem arane rintip
11. Kembang bentul arane gandhen
12. Kembang brambang arane blalo
13. Kembang bengle arane layu
14. Kembang erut arane sundel utawa greneng/gremeng
15. Kembang cabe arane suguh
16. Kembang cangkring arane rongeh
17. Kembang cengkih arane polong
18. Kembang cempaka arane gadhing
19. Kembang duren arane dlongop
20. Kembang dringo arane sendrang
21. Kembang dhadhap arane kecelung
22. Kembang dlima arane aku
23. Kembang gambas arane mausari
24. Kembang ganjong arane glelong
25. Kembang glagah arane glonggong
26. Kembang gadhung arane cengonglong
27. Kembang gedhang arane tuntut
28. Kembang jae arane lirik
29. Kembang jarak arane ajeg
30. Kembang jeruk arane alon/ngrenthel
31. Kembang jambu arane karuk
32. Kembang jati arane janggleng
33. Kembang jambe arane mayang
34. Kembang jambu mete arane lancang
35. Kembang kara arane calak utawa kepek
36. Kembang kelor arane bekethek
37. Kembang kemangi arane gribis
38. Kembang kemiri arane tratab
39. Kembang kenthang arane kapiran
40. Kembang klengkeng arane ambek
41. Kembang kluwih arane onthel
42. Kembang jengkol arane kecuwis
43. Kembang kobis arane idhep
44. Kembang kunir arane galih
45. Kembang kacang arane besengut/bundhel
46. Kembang kedhondhong arane liyer
47. Kembang jagung arane sinuwun utawa jembut
48. Kembang krokot arane nonik
49. Kembang kedhawung arane riyip
50. Kembang kapas arane kadi utawa kapi
51. Kembang kopi arane blanggreng
52. Kembang kimpul arane pancal utawa pacal
53. Kembang kecubung arane corong/torong
54. Kembang kangkung arane klengser
55. Kembang kencur arane sedhet
56. Kembang kates arane jenthit
57. Kembang krambil arane manggar
58. Kembang kelor arane limaran (godhonge uga limaran)
59. Kembang lampes arane ninggil
60. Kembang laos arane jethot
61. Kembang lamtara arane jemu
62. Kembang lombok arane pelik
63. Kembang luntas arane trapus
64. Kembang mlandhing arane jedhindhit
65. Kembang mundhu arane kocok utawa meped
66. Kembang maja arane jejer
67. Kembang manggis arane kenthet
68. Kembang mlathi arane peni
69. Kembang mlinjo arane uceng
70. Kembang nangka arane angkup atawa babal
71. Kembang nipah arane dongong
72. Kembang nanas arane katur
73. Kembang kanthil arane gadhing
74. Kembang pandhan arane pudhak
75. Kembang pohung arane ingklik
76. Kembang pring arane krosak
77. Kembang pace arane sarweteh
78. Kembang pete arane pendhul
79. Kembang lempuyang arane greng
80. Kembang pala arane bablas
81. Kembang pari arane jepun
82. Kembang randhu arane karuk (padha karo kembang jambu)
83. Kembang sawo arane rikuh
84. Kembang suruh arane drenges
85. Kembang salak arane ketheker
86. Kembang tales arane puncak
87. Kembang turi arane tronggong
88. Kembang terong arane duga-duga
89. Kembang tebu arane gleges
90. Kembang timun arane montro
91. Kembang temu arane purek
92. Kembang widuri arane brondong
93. Kembang waluh arane doblog
dening: ndalem mbah doel

Rura Basa

Tembung rura basa ateges basa rusak, basa kang wis luput kelantur-lantur, nganti ora kena dibenerake maneh. Ora kena dibenerake jalaran pancen wis ora lumrah dibenerake.
Tuladhane kaya ing ngisor iki .
01. adang sega, benere: adang beras supaya dadi sega
02. njait Klambu. benere: njait bahan/kain supaya dadi klambi
03. mbunteli tempe, benere: mbunteli kedhele kang wis digodhog lan dirageni, supaya dadi tempe.
04. menek krambil, benere: menek wit krambil, yaiku glugu.
05. mikul dhawet, benere: mikul genthong cilik (utawa wadhah liyane ) isi dhawet
06. ngenam klasa, benere: ngenam mendhong supaya dadi klasa
07. nulis layang, benere: nulisi dluwang supaya dadi layang
08. nguleg sambel, benere: nguleg lombok, brambang, tomat, trasi lan uyah supaya dadi sambel
09. ndheplok gethuk, benere: ndheplok pohung kang wis digodhog supaya dadi gethuk
10. nggodog wedang, benere: nggodog banyu supaya dadi wedang.

Tembung Plutan

TEMBUNG PLUTAN

Tembung plutan yaiku tembung kang wandane loro kang dirangkep didadekake sawanda.
01. para dadi pra
02. kiyat dadi kyat
03. suwara dadi swara
04. murih dadi mrih
05. weruh dadi wruh
06. sari dadi sri
07. suwarga dadi swarga
08. sarana dadi srana
09. dicuwowo dadi dicwowo
10. suwasa dadi swasa
11. kuluban dadi kluban
12. gumerit dadi gumrit
13. kuwalon dadi kwalon
14. deres dadi dres
15. kuwasa dadi kwasa
16. serat dadi srat
17. purihen dadi prihen
18. keras dadi kras
19. dereng dadi dreng
20. sinarawedi dadi sinrawedi
21. samaya dadi smaya
22. seret dadi sret
23. sumangkeyan dadi smangkeyan
24. sakarepmu dadi skarepmu
25. saprongkal dadi sprongkal
26. ketambuhan dadi ktambuhan
27. telulikur dadi tlulikur
28. suwidak dadi swidak
29. suwasa dadi swasa
30. pinerang dadi pinrang
31. cuwiri dadi cwiri
32. welas dadi wlas
33. gumantung dadi gmantung
34. sinerang dadi sinrang
dening: Ndalem Mbah Doel

Minggu, 28 November 2010

Cerita Pengalaman Pribadi

Cerita pengalaman pribadhi yaiku cerita pengalaman kang wis dialami dening manungsa ing sajeroning uripe lan ora dialami ening wong liya.

Jinise

Wara-wara

Ing basa Indonesia wara-wara diarani Pengumuman. tegese yaiku aweh kabar utawa aweh informasi marang wong liya (ing sawijing panggonan), kanthi ancas wong liya ngreti isine wara-wara.

Wujude wara-wara:
1. lisan, yaiku wara-wara kang digiyarake lumantar media elektronik, kayata: Tivi, Radio, lsp.
2. Tulisan, yaiku wara-wara kang digiyarake lumantar media cetak. kayata: ariwarti, kalawarti.

jinise wara-wara:
1. wara-wara bab kegiyatan
2. wara-wara bab undangan
3. wara-wara bab lelayu

BAb kang prelu digatekake nalika nggawe wara-wara:
1. saka sapa wara-wara mau kababar
2. kanggo sapa wara-wara mau
3. suraane (isine) apa
4. kapan wara-wara mau digawe
5. kapan kagiyatan mau katindakake
6. ana ing ngendi mapane
7. sapa kang mandegani

Unggah-ungguhing Basa

Unggah-ungguhing basa Jawa dipun-perang dados 2, inggih punika:
1. Ngoko
a. Ngoko lugu
b. Ngoko alus
2. Krama
a. Krama lugu
b. Krama alus

1. ngoko lugu
Titikanipun : - Sedaya tetembunganipun ngginakaken ngoko
- Ater-ater lan panambang ngoko
Dipun-ginakaken kangge:
1. Bocah sebaya
2. Tiyang sepuh marang putranipun
3. Tiyang ingkang sampun raket
4. Tiyang ingkang boten ngormati lawan wicantenanipun
5. Tiyang ngunandika
Tuladha : “Adi arep lunga menyang ngendi?”

2. ngoko alus
Titikanipun : - Tembung ngoko disarengi/ dicampur kaliyan krama inggil
- Ater-ater lan panambang ngoko
Dipun-ginakaken kangge:
1. Tiyang dewasa kaliyan sesaminipun
2. Tiyang ingkang relatif nem utawi sepuh ananging taksih wonten unsur ngormati
3. Tiyang nem marang tiyang sepuh
Tuladha : “Panjenengan arep tindak ngendi mas?”

3. krama lugu
Titikanipun : Tetembungan sedaya ngginakaken ragam krama
Dipun ginakaken kagem :
1. Tiyang ingkang nembe tepang
2. Tiyang ingkang langkung sepuh marang tiyang nem
3. Tiyang nem marang tiyang sepuh ananging boten ngormati
4. Sesami tiyang sepuh
Tuladha : “Sampeyan boten wangsul?”

4. krama alus
Titikanipun : Tetembungan sedaya ngginakaken krama inggil
Dipun ginakaken kagem :
1. Putra marang tiyang sepahipun
2. Murid marang guru
3. Tiyang sepuh marang tiyang nem kanthi ancasipun ngormati
4. Sesami tiyang sepuh
5. Tiyang ingkang sami ngormati.
Tuladha : “Panjenengan sampun dhahar menapa dereng?”

Wawancara

Bab-bab kang perlu digatekake sadurunge nindakake wawancara:
1. Nemtokake topik wawancara
2. Nemtokake tujuane (informasi apa kang pengin digoleki)
3. Nyiapake pitakonan
4. Nemtokake sapa narasumbere
5. Gawe janji karo narasumbere, kapan lan panggonane

Bab-bab kang kudu digatekake nalika wawancara:
1. Miwiti pitakonan kanthi salam
2. Ngango basa kang sopan lan miturut unggah-ungguhing basa
3. Pandelenge tumuju marang narasumber
4. Aja menehi pitakonan kang wangsulane “iya” utawa ‘ora”
5. Pungkasi wawancara kanthi matur nuwun

Tata Cara Telpon

Tata cara wong kang arep nelpon:
1. nyepakake buku lan pulpen kanggo nyathet bab kang dianggep penting
2. nyepakake nome kang arep ditelpun kanthi permati
3. ngaturake salam
4. takon wong sing digoleki, ana apa ora
5. menawa wis rampung ngaturake panuwun
6. uluk salam ing pungkasane telpun

Pawarta

Pawarta utawa ing Basa Indonesia diarani Berita, tegese yaiku menehi kabar utawa informasi marang wong liya ngenani kadadean utawa prastawa.
Pawarta iku bisa awujud:
1. Lisan, kang biasane kababar lumantar media elektronik.
Tuladha: Tv, Radio, lsp.
2. Tulisan, kang biasane kababar lumantar media cetak.
Tuladha: ariwarti (koran), kalawarti (majalah), lsp.

Titikane pawarta kang apik, yaiku:
1. migunakake basa kang gampang dimangeteni
2. kudu ngemot 6 perangan, yaiku what, who, why, when, where, lan how.
3. ora mojokake utawa mihak salah sijine golongan utawa pawongan.
4. katulis kanthi bener lan apa anane.
5. anyar

Karawitan

Gamelan, tembung menika mesthi asring kapireng lan mboten asing ing talingan kita. Punapa malih ing tlatah Jawi, amargi gamelan punika salah satunggaling asil kabudayan Jawi. Sacara etimologi tradisional, gamelan menika saking tembung “ ga ” ( 3 ) lan “ sa “ ( 10 ); “ ga “ menika tembaga lan “ sa “ menika swasa utawi timah. Salajengipun tembaga lan timah dipuncampur, saengga ngasilaken perunggu, kuningan , lan tosan. Miturut bausastra basa Jawi, gamelan ( gangsa ) menika araning tetabuhan ingkang rericikanipun kadosta, baron, saron, gender, balungan, lan sapanunggalipun.
Perangan – peranganipun gamelan menika mawarni – warni inggih menika, bonang ( bonang panembung, barung, lan panerus ), balungan ( saron demung, saron ricik, lan saron panerus / peking ), gender ( slenthem, barung, lan penerus ), gong ( gong gedhe, suwukan, lan kempul / gong kecil ),kendhang, kenong, kethuk, rebab ( gesek ), kenthong ( gedhe, batangan, lan ketipung ),siter ( petik ), suling (tiup ), gambang, kempyang, lan ora umum ( kecer, kelana, lan keramat ).
Salebetipun pewayangan ( pedhalangan ) dipuntepang kalih laras musik gamelan inggih menika, slendro ( wilahan notasi: 1,2,3,4,5,6,1,2 ) lan laras pelog kaperang kalih, pelog barang & pelog manis. Pelog barang ( wilahan notasinipun: 7,2,3,4,5,6 ) lan pelog manis (wilahan notasinipun: 1,2,3,4,5,6 ). Gamelan miturut wujudipun wonten kalih inggih menika, gamelan ageng lan gamelan barut (gamelan saking tosan ). Dados gamelan menika orkestra musik ingkang dipunangge ngiringi pementasan wayang kulit sewengi suntuk.
Menawi dipungatosaken kanthi tlesih, nuansa salebetipun musik gamelan ingkang bahanipun saking tosan, kulit kewan ( kendhang ), lan kajeng ( gambang ), sarta kawat ( rebab ) saleresipun ngisyarataken “ filosofi gamelan “ ingkang tegesipun “ guyup rukun “ alias kagotong – royongan utawi kasarengan ingkang dipunpimpin dening kendhang. Kamangka, gotong – royong kangge satunggaling ancas menika ciri khas rakyat Indonesia kados ingkang nate dipungali rakyatipun kanyata “ gotong – royong “. Menawi musik gamelan kemawon saged nuwuhaken ganda karukunan, kagotong – royongan, sami ngengetaken, ( samad – sinambadan ), sami mbiyantu, lajeng kengeng menapa kathah tiyang ingkang sami musuhan, teror - meneror, lan vandalisme ( anarkisme ) ????
Musik gamelan asring kasebut ugi kaliyan “ seni karawitan “, maknanipun ngrawit ( alus sanget, ewet sanget ). Kangge seniman, dhalang, wiyaga ( penabuh gamelan ) ibaratipun kados “ garwanipun “ / “ kanca kenthelipun “. amargi, ing pundi kemawon panjenenganipun badhe tampil, panjenengaipun dipuntuntut nggadhahi kepekaan raos dhumateng wirama gamelan ingkang laras slendro utawi laras pelog.
Saengga pagesangan musik gamelan sampun ngalami perjalanan panjang sanget. Tegesipun sampun gesang membudaya lan mentradisi salebeting papan lan wekdal pagesangan sosial – budaya bebrayan pendukungipun. Panjenenganipun sampun marisaken estetik musical, konsep lan hal ingkang asipat teoretik, sarta maringi kontribusi salebetipun pagesangan membudaya bebrayan pendukungipun. Panjenenanipun ugi saged kasil miyosi margi ingkang panjang sacara dinamis jumbuhaken dinamika sosial – budaya bebrayanipun. Temtunipun salabetipun konteks salajengipun pagesangan musik gamelan menika piyambak,mboten uwal saking tigang hal penting menika, proses pengalihan kesagedan kangge musik gamelan, kontribusi musik gamelan kangge pagesangan mbudaya, lan rembakanipun kekaryaan.
Geseripun orientasi ingkang nyakup aspek musicalitas ( garap lan estetika musik gamelan ), paedah, kebebasan kreativitas kekaryaan, sistem transmisi kesagedan (pendidikan musik gamelan ), sistematisasi notasi, lapangan makarya seniman musik gamelan, asring kedadosan ing donya musik gamelan.
Ing Jawa, wiwit taun 1970-an, minangka akibat saking rembakaning riset ing pawiyatan – pawiyatan gamelan, ngelmu kesarjanaan gamelan ngrembaka. Munculipun teyori – teyori gamelan musisi – musisi Jawi ngakibataken teyori gamelan ingkang dipunilhami pikiran Eropa kacampur kaliyan perspektif musisi Jawi. Babagan menika ugi dipunakibataken dening ningkatipun makarya sesarenganipun antawisipun teoritisi – teoritisi gamelan, Jawi utawinipun Eropa.
Saking kadadosan menika saged dipundudut bilih gamelan luwih mendonya tinimbang wayang. Sepisan, nilai mboten wujud gamelan, samenika ingkang dipunbetahaken warga donya. Semangat individualisme ing Barat menika sangsaya damel tiyang gesang kapuruk salebetipun katerasingan. Panjenenganipun ugi mboten purun mirengaken suwantenipun tiyang sanes. Nah, menawi kita nabuh gamelan, purun mboten purun kita mirengaken tiyang sanes. Mboten saged tiyang nabuh piyambak – piyambak, saengga munculaken toleransi. Sadaya tiyang salebetipun dolanan gamelan dados creator, dados kompresor. Salebetipun dolanan gamelan, wekdal damel musik menika wekdal pasugatan menika piyambak. Nalika tiyang dolanan gamelan menika dados tiyang. Lan warga donya nembe pengin gadhah cara dolanan ingkang mawarni – warni. Gamelan dipunginakaken ing Eropa minangka terapi kangge manungsakaken malih tiyang – tiyang ingkang dipunukum.
Salintunipun gamelan menika ugi dipunginaken kangge nglatih kesabaran ugi kecerdasan. Salebetipun dolanan gamelan ugi dipunbetahaken konsentrasi ingkang inggil, supados anggenipun nabuh leres lan suwantenipun gamelan selaras ugi kepenak dipunmirengaken. Dados intinipun nyinaoni gamelan inggih menika supados kita luwih saged ngetrapaken toleransi, makarya sesarengan, lan temtu kemawon saged nglatih raos / batiniah. Saengga saged ngasilaken alusipun lan timbangipun emosi.











DAFTAR PUSTAKA


Http://hima-ugm.blogspot.com/2007/12/gamelan-jawa-dan-generasi-muda.html.

Http://oc.upi.edu/index.php?option=com_content&view=article&id=97:musik-indah-itu-tidak-meneror&catid=101:kesenian&Itemid=155.

Http://onesgamelan.wordpress.com/2009/01/26/musik-gamelan-sebuah-catatan-tentang-pendidikan-kehidupan-dan-kekaryaan/.

Nugraha, G. Setyo dan Tofani, M. Abi. 2006. Buku Pinter Basa Jawa Kangge SD lan Sederajat: Kartika.

Sumarsam. 2003. Gamelan, Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa.Yoyakarta: Pustaka
Belajar Offset.

Susetyo, Wawan. 2007. Dhalang, Wayang dan Gamelan ( mengungkapkan nilai – nilai filosofi di balik pementasan wayang pada masyarakat Jawa ). Yogyakarta: Narasi.

Gamelan

Musik Gamelan Sebuah Catatan Tentang Pendidikan, Kehidupan, dan Kekaryaan
Musik Gamelan[1]
Sebuah Catatan Tentang Pendidikan, Kehidupan, dan Kekaryaan
by Waridi
I
Kehidupan musik gamelan telah mengalami perjalanan sangat panjang. Artinya telah hidup membudaya dan mentradisi dalam konteks ruang dan waktu kehidupan sosial-budaya masyarakat pendukungnya. Ia telah mewariskan estetik musikal, konsep dan hal yang bersifat teoretik, serta memberi kontribusi dalam kehidupan membudaya masyarakat pendu¬kungnya. Ia berhasil melewati jalan panjang secara dinamis menyesuai¬kan dinamika sosial-budaya masyarakatnya. Tentunya dalam konteks keberlanjutan kehidupan musik gamelan itu sendiri, tidak lepas dari tiga hal penting yaitu: proses pengalihan kemampuan bermusik gamelan, kontribusi musik gamelan terhadap kehidupan membudaya, dan per¬kem¬bangan kekaryaannya.
Pergeseran orientasi yang mencakup aspek musikalitas (garap dan estetika musik gamelan), fungsi, kebebasan kreativitas kekaryaan, sistem transmisi kemampuan (pendidikan musik gamelan), sistematisasi notasi, dan lapangan kerja seniman musik gamelan[2], sering terjadi dalam dunia musik gamelan. Realitas tersebut menunjukkan, bahwa eksistensi musik gamelan tidak statis melainkan terbuka serta akomoda¬tif terhadap setiap dinamika sosial budaya masyarakat pendu¬kungnya. Indikator meruahnya karya musik gamelan dalam berbagai bentuk, jenis, warna, dan peruntukkannya merupakan gejala aktual dalam musik gamelan.
Sejak tahun 1950-an para seniman karawitan mulai tum¬buh sikap baru dalam mencetuskan gagasan/ide kekaryaan musik mereka. Hampir di semua daerah secara bersamaan muncul seniman-seniman kreatif yang melahirkan karya musik gamelan dalam wujud yang berbeda. Di antara mereka adalah Tjokrowasito, Martopengrawit, Ki Nartosabda, Mang Koko, Uking Sukri, I Gede Manik, dan I Wayan Beratha. Nama-nama yang disebut itu hanyalah sekedar contoh, masih banyak nama-nama lain yang tidak disebut dalam tulisan ini. Mereka mulai melahirkan kekaryaan musik gamelan yang merefleksikan beragam fenomena kehidupan. Kekaryaan yang terlahir dari mereka tidak sebatas untuk kepentingan konser, melainkan juga untuk kepentingan pertunjukan jenis seni lainnya. Kekaryaan mereka pada umumnya memperluas kekaryaan musik gamelan pada daerahnya masing-masing. Dalam berkarya, mereka mengolah bentuk, irama, laras, dinamik, vokal, serta teknik permainan instrumen, sehingga mengesankan kebaruan. Mereka memanfaatkan idiom-idiom tradisi musik gamelannya masing-masing untuk diperkaya sisi vokabuler garapnya, bentuk dan strukturnya, irama dan larasnya, serta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Kendatipun mereka menggunakan pendekatan kekaryaan yang berbeda-beda, akan tetapi hampir seluruh kekaryaan yang ada mampu memperkaya repertoar pada musiknya masing-masing. Umumnya karya-karya mereka yang terlahir, oleh masyarakat dipandang sebagai bentuk inovasi. Saya melihat pada era inilah terdapat pergumulan yang sekaligus perpaduan antara tradisi dan inovasi. Kualitas kekaryaan dan virtuositas mereka terhadap musik gamelannya masing-masing sangat menonjol, yakni berada di atas rata-rata. Maka masuk akal jika mereka kemudian mendapat predikat empu.[3]
Di tangan para empu inilah pengetahuan dan kemampuan bermusik gamelan berikut kebudayaan yang menyertainya ditransmisikan kepada masyarakat yang memerlukan serta generasi muda yang berkeinginan kuat untuk belajar musik gamelan. Para empu ini merasa memiliki tanggung jawab moral untuk terus menjaga keberlanjutan kehidupan musik gamelan agar tetap bertahan hidup dan mampu menyesuaikan dengan perkembangan zamannya. Tanpa diragukan lagi, bahwa mereka telah mampu menjawab tantangan zaman yang terus bergulir dengan sejumlah kekaryaan dalam nafas kekinian. Oleh karenanya kendatipun istilah kontemporer belum muncul dan terpahami pada era masa empu ini, akan tetapi realitas kekaryaannya telah bermunculan, bahkan (di Jawa)[4] sejak zaman kerajaan dalam pengertian yang khusus kekaryaan-kekaryaan yang bersifat eksperimental dalam kadar tertentu telah muncul.
Pada perkembangan dan perjalanan berikutnya (1970-an) muncul istilah “gamelan kontemporer”, yakni sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut jenis kekaryaan yang mengeksplorasi bunyi gamelan dengan membebaskan diri dari konvensi-konvensi tradisi sebagaimana yang biasa berlaku dalam musik gamelan. Artinya pada awal munculnya kekaryaan musik ‘gamelan kontemporer’ dapat dimaknai sebagai sebuah upaya untuk memperluas gramatika musik gamelan itu sendiri. Dalam perjalanan selanjutnya terdapat perluasan makna ‘gamelan kontempoprer’, yakni tidak lagi terbatas digunakan untuk menyebut kekaryaan baru gamelan, melainkan juga digunakan untuk menyebut kekaryaan yang bersumber dari berbagai musik etnis lainnya.[5] Bahkan di Jawa Tengah terdapat anggapan, bahwa musik Campursari dipandang sebagai bentuk baru dari musik gamelan. Alasannya cukup sederhana, mereka menganggap bahwa musik campursari dipahami tetap berorientasi pada laras slendro dan pelog serta menggunakan idiom-idiom garap musik gamelan.[6] Campursari semacam ini, juga berkembang di wilayah-wilayah budaya lainnya seperti di antaranya Sunda, Bali, Sumatera Barat, dan Banyuwangi. Pada umumnya mereka dengan bangga memasukkan sejumlah instrumen seperti di antaranya keyboard, cymbal, drums set, gitar elektrik, dan lain-lain. Oleh karena kesan campur aduk lebih kuat dibanding kesan campursarinya.[7]
Kenyataan perluasan makna terhadap musik gamelan seperti di atas menarik untuk mendapat perhatian. Pertanyaannya, apakah perluasan makna dan perkembangan musik-gamelan akhir-akhir ini menguntung¬kan bagi keberlanjutan kehidupan musik gamelan? Ataukah justru lebih mengarah semakin menjauh dari musik gamelan? Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut perlu memetakan kekaryaan musik gamelan, kemudian menanggapinya dari persepsi untung rugi dari berbagai sisi.
Di sisi lain gejala-gejala aktual tentang pendidikan musik pada dasa warsa terakhir, tampak semakin memprihatinkan. Pada pendidikan formal terdapat kecenderungan mempersempit pengertian musik, yakni hanya diperuntukkan terhadap jenis ‘musik barat’. Tentunya makna semacam ini memberi pengaruh yang kuat terhadap pilihan pengadaan alat dan materi yang diajarkan kepada para siswa. Akibatnya dalam dunia pendidikan formal sebagian besar mengajarkan jenis musik yang disebut ‘musik barat’ itu. Itupun sebagian besar hanya sebatas nyanyi-nyanyi dan belajar memainkan alat yang sangat sederhana. Ironis memang, karena siswa tidak dibiasakan belajar agar mampu mengapresiasi hakekat musik. Sehingga sejak kecil dalam otaknya telah terbangun, bahwa musik adalah hiburan. Akibatnya jenis-jenis musik yang tebal kadar hiburannya seperti musik pop dianggap sebagai musik yang paling bagus. Sudah barang tentu pemahaman semacam itu berpengaruh kuat terhadap perkembangan kehidupan musik di masyarakat.
Dalam pendidikan musik perlu dilihat dan dipikirkan kaitannya dengan musik-musik yang berakar dari tradisi dan kebudayaan masyarakat serta kebutuhan metodologisnya dalam pendidikan formal. Selama ini terlihat secara jelas (di Indonesia) terdapat kerancuan terhadap pengertian musik dalam konteks pendidikan formal. Jika ini tidak mendapat perhatian, kebijakan terhadap pendidikan musik tidak akan pernah memihak kepada musik-musik yang berakar dari tradisi dan budaya masyarakatnya. Padahal jika dirunut dari sisi historisnya selalu terdapat kesesuaian antara peradaban dengan perkembangan musik yang berbasis pada budaya masyarakat (musik tradisi). Dalam pengertian, bahwa musik tradisi memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan membudaya suatu komunitas masyarakat tertentu. Maka memerlukan metodologi yang tepat.
Apakah di era modern ini, musik tradisi mendapat perhatian yang proporsional dalam bidang pendidikan? Ataukah justru memandang musik semata-mata sebagai barang dagangan? Bagaimana para pembijak dan pelaku (terutama di Indonesia) memahami pendidikan musik dalam pendidikan formal? Akhirnya dalam konteks kehidupan musik perlu dipertanyakan pula, apakah secara realitas perkembangan musik gamelan mengarah kepada peningkatan perbaikan kehidupan musik gamelan itu sendiri? Terakhir secara spesifik perlu pula diajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut apakah kehadiran gamelan kontem¬porer merupakan keberlanjutan dari tradisi gamelan ataukah justru terdapat gejala untuk memisahkan diri dari tradisi?
II
Pada awalnya terdapat tanda-tanda yang cukup jelas untuk menjadikan musik gamelan (karawitan) sebagai ciri musik yang mencerminkan ke Indonesiaan. Indikator ini tampak, pada tahun 1950 pemerintah mendirikan sekolah musik dengan nama Konservatori Karawitan Indonesia di Surakarta. Kendatipun pada masa itu konon terjadi pertentangan yang sengit antara yang setuju dan tidak setuju, namun Konservatori Karawitan Indonesia di Surakarta tetap berdiri. Bahkan secara bertahap pada tahun-tahun berikutnya pendidikan formal karawitan tersebut didirikan pula di berbagai kota di Indonesia yang dipandang sebagai pusat-pusat kebudayaan gamelan seperti Bali, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Padang.[8] Daerah-daerah tersebut dalam kadar dan jenis yang berbeda merupakan pemilik budaya musik gamelan yang sangat kuat. Awal pelaksanaan pendidikannya merekrut para empu (maestro) yang berasal dari daerahnya masing-masing untuk didudukkan menjadi tenaga pengajar. Selanjutnya para empu tersebut secara oral mentrans¬mi¬sikan kemampuan mereka kepada para siswa Konservatori, baik secara praktik dan pengetahuan yang menyertainya. Hasilnya cukup menggem¬birakan, bahwa lulusan konser¬vatori rata-rata memiliki kemampuan karawitan yang baik. Maka, umumnya mereka memiliki kewibawaan di masyarakat. Selanjutnya para lulusan Konservatori Karawitan ini bekerja di berbagai daerah dan bersama masyarakat melakukan aktivitas berkarawitan. Pada umumnya mereka sekaligus menjadi pendidik musik gamelan di tengah-tengah masya¬rakat. Mereka bermain musik dengan masyarakat, menggarap musik gamelan dengan masyarakat, dan sekaligus memberi pelajaran musik gamelan kepada masyarakat.[9] Mulai saat inilah secara pelan-pelan tradisi belajar musik gamelan secara oral mulai tergantikan dengan budaya belajar gamelan melalui tulisan (notasi).[10]
Lewat Konservatori ini pula kekaryaan musik gamelan, baik di tingkat repertoar, vokal, maupun terhadap pola-pola dasar permainan instrumen berhasil didokumentasikan. Hasilnya digunakan untuk kepentingan acuan belajar musik gamelan oleh mereka yang memerlukan, di samping sebagai bentuk penyelamatan terhadap warisan repertoar-repertoar dan pola dasar permainan instrumen.[11] Melihat keberhasilan pendidikan musik gamelan yang diselenggarakan oleh Konservatori Karawitan, pemerintah mendirikan pendidikan musik gamelan di tingkat perguruan tinggi.
Mulai tahun 1960-1970-an pemerintah Indonesia mendirikan sejumlah perguruan tinggi seni di Yogyakarta, Surakarta, Bandung, Denpasar Bali, dan Padang Panjang Sumatera Barat, yang di dalamnya juga menyelenggarakan pendidikan gamelan. Pendirian perguruan tinggi seni ini memacu munculnya kekaryaan gamelan dalam wujud yang sangat beragam, baik dari sisi warna garap, kekaryaan, maupun fungsinya. Di samping juga muncul gagasan-gagasan dan/atau kajian-kajian yang lebih bersifat teoretis. Pendek kata konservatori karawitan dan perguruan tinggi seni dalam kadar tertentu telah berhasil mencetak seniman-seniman karawitan handal yang memiliki kadar intelektual cukup baik. Dari tahun ke tahun lulusan karawitan terus bertambah dan menyebar ke berbagai daerah. Oleh karena itu kehidupan musik gamelan tradisi sampai dengan pertengahan tahun 1980-an hidup secara subur. Hampir setiap kalurahan, instansi, perusahan, dan komunitas-komunitas, serta sekolah-sekolah membentuk group musik gamelan. Para alumni sekolah karawitan dan ahli musik gamelan bertindak sebagai pendidik gamelan secara profesional. Berkat kehidupan musik gamelan seperti itu, pendidikan gamelan di sekolah-sekolah formal pun dapat berjalan dengan wajar. Entah siapa yang memulai sejak akhir tahun 1980-an pendidikan gamelan yang pada awalnya dapat berjalan secara baik di sekolah-sekolah formal, mulai surut dan puncaknya banyak sekolah yang mengganti dengan materi ‘musik Barat’. Mulai saat itulah pendidikan musik gamelan pelan-pelan terus tersisih. Adalah suatu fenomena yang sangat memprihatinkan, sebab dengan demikian para anak usia sekolah mulai dijauhkan dari musik yang berkait erat dengan lingkungan sosialnya. Dampak panjangnya anak usia sekolah semakin senjang dan kurang tertarik terhadap musik gamelan dan lebih akrab dengan musik yang diambil dari luar budaya mereka..
Pendidikan musik atau seni sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu dan bersifat unik. Artinya seperti apa pendidikan seni itu terlaksana sangat bergantung dimana dan kapan pendidikan seni itu dilakukan. Keunikan pendidikan seni, disebabkan karena kesenian berurusan dengan persoalan estetik, ekspresif, dan kreatif. Kesemuanya itu memiliki sifat multi tafsir, sehingga sering mengundang perdebatan yang serius karena terdapatnya perbedaan persepsi.
Watak pendidikan musik gamelan sendiri (juga bagi musik pada umumnya) sesungguhnya tercermin pada pemberian pengalaman estetik terhadap para peserta didik. Dalam pendidikan musik gamelan, pengalaman estetik merupakan keharusan yang perlu diberikan kepada peserta didik. Karena pada dasarnya, esensi musik gamelan adalah estetik-musikal dan budaya yqang melatarbelakanginya. Pengalaman estetik meliputi persepsi estetik, tanggapan estetik, kreasi estetik, dan ekspresi estetik. Untuk itu dalam rangka menjangkau pengalaman estetik itu, pendekatan praktis dan auditif perlu mendapat perhatian.
Pengalaman estetik dalam musik gamelan adalah spesial, yakni sesuatu yang melibatkan emosional sepenuh hati terhadap aspek-aspek musikal. Untuk itu memerlukan pengetahuan dan pengalaman dalam konteks budaya. Pengalaman semacam inilah yang dapat mengantarkan peserta didik untuk mampu menangkap nilai-nilai keindahan dan budaya. Pengalaman estetik dapat dikembangkan dengan cara pengembangan kepekaan melalui kreasi, proses mengalami (praktik bermusik), dan proses menghayati.
Permasalahan pokok pendidikan musik di sekolah-sekolah umum adalah terletak pada pemahaman terhadap musik, pemilihan materi musik berikut alasannya, dan metodologi pembelajarannya. Entah dengan menggunakan logika seperti apa, bahwa kebanyakan orang memberi pengertian musik hanya sebatas terhadap Musik Barat saja. Musik seharusnya dipahami sebagai segala jenis seni bunyi dan seni yang bersifat auditif. Materi pendidikan musik semestinya adalah yang bertolak dari budayanya sendiri (di antaranya musik gamelan), bukan bertolak dari Musik Barat. Dengan demikian pendidikan musik di Indonesia antara sekolah formal yang ada di daerah yang satu dengan daerah lainnya bisa saja materinya berbeda dan disesuaikan dengan kehidupan musik masyarakat lingkungannya. Persamaannya terletak pada masalah metodologi pembelajarannya. Pada dekade terakhir ini siswa-siswa di pendidikan formal (sekolah umum) semakin senjang dengan musik tradisi. Pada umumnya mereka lebih tertarik terhadap jenis musik pop yang lebih menghibur (bahkan seolah-olah musik pop telah menjadi bagian dari kehidupan mereka). Hampir dapat dipastikan, bahwa koleksi kaset dan/atau CD-VCD yang dimiliki oleh para siswa sekarang adalah jenis-jenis musik Pop itu.
Tujuan pendidikan musik gamelan di sekolah-sekolah umum (non kesenian) bukan dimaksudkan untuk mencetak peserta didik menjadi pelaku seni/seniman yang memiliki virtuositas tinggi sebagai musisi dan bukan pula diarahkan untuk menjadi pengkaji, peneliti, analis karya-karya musik gamelan, serta komponis. Akan tetapi peserta didik lebih diarahkan untuk mengenali, menghargai, melatih kepekaan, merang¬sang kreativitas, berkemampuan untuk menikmati estetik musikalnya, serta dalam batas-batas tertentu mampu mengalaminya. Cara memahami berbagai pengetahuan dasar musik gamelan serta mengenali unsur-unsur musikal musik gamelan kiranya tidaklah cukup hanya dilakukan lewat membaca buku-buku saja. Peserta didik perlu diajak untuk mengenali sejumlah fenomena musikal dengan cara mendengarkan contoh-contoh kongkrit, agar terbangun sensitivitas musikalnya. Sehubungan dengan itu diperlukan buku-buku khusus tentang pengetahuan musik gamelan yang mampu secara cepat mengantarkan para peserta didik untuk memahami isinya. Tentunya buku-buku itu harus tersaji dengan bahasa yang mudah dicerna, lugas, dan disertai contoh-contoh audio/audio visual yang dapat membantu untuk memahami persoalan-persoalan musikal musik gamelan.
Dengan cara yang demikian itu pendidikan musik memiliki kekuatan meningkatkan kemampuan untuk mengapresiasi musik dalam konteks kehidupan masyarakat. Pendidikan musik semacam ini merupakan upaya nyata untuk memberikan pemahaman, keterampilan, merangsang kreativitas, serta peningkatan anak dalam mengapresiasi musik yang hidup di lingkungannya maupun yang hidup di komunitas yang berbeda. Harapannya lewat pendekatan model apresiasi, anak mampu merubah persepsi mereka terhadap berbagai jenis musik ke arah yang lebih positif. Lagi-lagi masalah ini memerlukan pendekatan yang mampu merangsang anak agar tertarik dan serius dalam mengikuti pendidikan musik.
Selama ini pendidikan musik di sekolah umum berdasarkan pengamatan terhadap proses pembelajaran musik di sejumlah sekolah dasar dan menengah antara guru dan murid lebih cenderung berjalan secara searah, yakni hubungannya lebih bersifat vertikal. Pendekatan semacam ini, mengakibatkan proses komunikasi hanya berjalan secara searah, yakni dari guru mengalir ke murid. Tentunya proses pembelajaran semacam ini kreativitas dan kemandirian anak tidak dapat tumbuh secara wajar.
Menurut pandangan saya sebaiknya dalam pembelajaran musik, harus mencakup tiga hal, yakni melatih kepekaan auditif, memberi pengalaman praktik, dan merang¬sang kreativitasnya. Dengan bekal tiga hal itu siswa akan berani menge¬mu¬kakan pendapat¬nya setelah mereka menghayati atau menga¬pre¬siasi sajian musik. Dengan cara ini mereka terpupuk kemampuan¬nya dalam menikmati dan menghayati setiap musik yang mereka dengarkan. Perpaduan antara kepekaan terhadap unsur-unsur musikal dan pengalaman praktik akan mampu mendorong siswa ke arah lebih kreatif terhadap ritme, dinamika, melodi, dan sebagainya. Jika ini terjadi bukan tidak mungkin berdampak kuat terhadap lahirnya kekaryaan musik gamelan yang lebih berkualitas, karena telah terdapat apresiator yang terlatih.
III
Kekaryaan musik gamelan yang hidup dan berkembang di masyarakat sekarang cukup beragam. Selain karya-karya warisan para empu zaman dulu, di tengah masyarakat menjamur karya-karya musik gamelan (dalam pengertian luas) dalam jenis dan warna garap yang beragam. Sejak dari yang “garap ndangdut”, “garap langgam”, campuran sampai yang disebut “kontemporer”. Jenisnya meliputi: komposisi mandiri untuk keperluan konser musik, komposisi musik gamelan untuk keperluan pertunjukan tari, wayang purwa, wayang wong, ketoprak, ludruk, dan komposisi yang dimanfaatkan untuk keperluan aneka pertunjukan seni rakyat serta untuk ilustrasi film dan sinetron. Dari sekian jenis kekaryaan musik gamelan yang ada, jenis ‘gamelan kontemporer’ paling banyak mendapat perhatian dalam tataran wacana.
Istilah kontemporer, dalam kekaryaan musik gamelan mulai menjadi wacana hangat sejak tahun 1970-an pada saat Dewan Kesenian Jakarta secara melembaga menyelenggarakan Pekan Komponis Muda di Taman Ismail Marzuki. Kendatipun demikian, sebenarnya gejala kekaryaan gamelan kontemporer telah ada, jauh sebelum perhelatan formal tersebut diselenggarakan. Masalahnya adalah seberapa jauh musik gamelan kontemporer tersebut dimaknai? Hal ini penting untuk dipertanyakan, sehubungan bahwa di dalam kalangan masyarakat musik gamelan terdapat kecenderungan untuk membedakan secara dikotomis antara kekaryaan musik gamelan “tradisi” dengan kekaryaan musik gamelan yang lazim disebut “komposisi”. Selanjutnya dalam wacana, “komposisi musik gamelan” inilah yang dipahami sebagai karya “gamelan kontemporer”. Di sini mulai terdapat masalah yang agak serius dalam memaknakan istilah komposisi. Bukankah repertoar-repertoar dalam gamelan tradisi juga merupakan komposisi musikal dalam musik gamelan?
Kerancuan ini bermula dari silang sengkarutnya dalam memaknai komposisi disama-artikan dengan pendekatan penciptaan kekaryaan musik gamelan. Karya musik gamelan tradisi maupun yang disebut karya ‘musik gamelan kontemporer’, keduanya adalah komposisi musik gamelan. Hal yang membedakan wujud keduanya, terletak pada pendekatan penciptaan yang digunakan oleh komponisnya. Jika karya karawitan yang bertolak dan tetap setia terhadap idiom-idiom tradisi disebut komposisi gamelan tradisi, sedangkan kekaryaan karawitan yang memandang, menempatkan, dan mengeksplorasi bunyi gamelan dengan tanpa berpijak pada konvensi-konvensi gamelan tradisi selalu disebut sebagai komposisi ‘gamelan kontemporer’. Pemaknaan semacam inipun masih tetap mengandung kerancuan, karena terdapat pandangan yang mengartikan kontemporer adalah kekinian. Pandangan yang terakhir ini menyiratkan makna, bahwa setiap perubahan musik gamelan yang bertujuan untuk menyesuaikan hasilnya dengan dinamika sosial, berarti kontem¬porer. Jelas pada makna yang terakhir ini kehadiran ‘gamelan kontemporer’ menyiratkan sebuah keberlanjutan dari gamelan tradisi.
Musik gamelan memiliki potensi yang cukup besar untuk beradaptasi dengan dinamika zaman. Sejarah dalam perjalanan kehidupannya telah memberi bukti yang cukup kuat terhadap pernyataan itu. Satu contoh kongkrit dapat dilihat apa yang terjadi di dalam Musik gamelan, di Jawa Tengah, di Jawa Barat, di Bali, di Sumatera Barat, di Sumatera Utara, di Banyuwangi, dan saya kira juga yang terjadi di daerah-daerah lainnya. Keberadaannya hingga sekarang tetap terdapat garis keberlanjutan dari masa-masa sebelumnya.
Khususnya di Jawa dapat disimak bagaimana terbukanya musik gamelan terhadap kehadiran budaya musik dari luar budaya Jawa. Ia memberi toleransi yang luar biasa pada abad 19 dan awal abad 20, ketika musik gamelan Jawa di Kraton dipersandingkan dengan sajian Orkestra Barat. Di sisi lain, musik gamelan Jawa juga telah memberi toleransi yang cukup besar terhadap masuknya birama bermatra tiga dan sistem paduan suara dalam karya-karya gendhing. Bagaimana ketika para pengrawit mengadopsi lagu Kebangsaan Thailand ke dalam Ladrang Siyem dan juga peristiwa kolaborasi para pengrawit (musisi gamelan Jawa) dan kaum agamawan Islam di Kraton Kasunanan Surakarta yang melahirkan genre musik Santiswara. Ini hanyalah sekelumit indikator kecil sifat toleran musik gamelan Jawa.
Di daerah lain, kita dapat melihat bagaimana instrumen dari luar daerah budayanya masuk dalam budaya musiknya dan tanpa terasa sekarang telah menjadi milik mereka. Contoh biola telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam musik gamelan Gandrung Banyuwangi dan dalam ansambel Rebab Pasisie di Sumatra Barat. Artinya, instrumen biola oleh masyarakat pemilik musik Gandrung Banyuwangi dan masyarakat Pesisir Sumatra Barat sudah tidak lagi dipandang sebagai instrumen pinjaman dari budaya musik asing, melainkan telah dipandang sebagai bagian dari ansambel musik mereka. Fakta-fakta yang disebut itu menunjukkan, bahwa di dalam tubuh musik gamelan, sejak lama secara musikal telah bersemayam potensi sifat terbuka dan akomodatif untuk berdialog dengan musik-musik yang datang dari luar budayanya. Di sisi lain dapat dikatakan pula, bahwa hal ini merupakan kreativitas para seniman dalam mengolah potensi-potensi lain yang terdapat dalam musik gamelan tersebut, sehingga karya-karya yang terlahir memiliki makna musikal, berkualitas, dan tetap mampu menunjukkan identitas budayanya. Sekali lagi, bahwa sifat terbuka tersebut salah satu faktornya karena dalam musik gamelan memiliki berbagai potensi.
Berbagai potensi musik gamelan dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Secara fisik (organologis), memiliki instrumen yang beragam: jenis, bentuk, ukuran, dan warna suara.
2. Memiliki keragaman dan kekayaan vokabuler garap instrumen dan vokal, serta idiom-idiom yang unik dan khas.
3. Memiliki sifat yang terbuka dan lentur, serta akomodatif terhadap masuknya unsur-unsur lain.
4. Memiliki ciri kebersamaan, toleran, demokratis (masing-masing musisi dapat menginterpretasi dan tidak terikat secara ketat terhadap score instrumen yang dimainkan)
Potensi-potensi ini oleh para kreator dijadikan sebagai pacu kreatif dalam melakukan eksplorasi musikal. Idiom-idiom yang berupa aneka ragam vokabuler garap instrumen dan vokal memberi kebebasan para musisi, maupun kreator untuk menginterpretasi ulang karya-karya yang sudah ada baik untuk keperluan sajian, dan atau melahirkan sebuah kekaryaan baru. Berbagai aspek internal musik gamelan seperti terurai di atas, merupakan potensi-potensi yang dapat memberikan berbagai kemungkinan untuk menumbuhkan imajinasi para kreator dalam menciptaka kekaryaan musik gamelan (dalam wajahnya yang baru), agar tetap dapat berbicara dalam setting budaya masyarakat sekarang. Kebaruan kekaryaan musik gamelan, sangat bergantung kepada tingkat kreativitas para komposernya.
Dalam dunia musik, kreativitas merupakan suatu tindakan untuk menghasilkan sesuatu yang “baru”. Kata lain, kreasi hanya akan selalu dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki kreativitas. Oleh karenanya, tindakan semacam ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki sikap mandiri, bekal kreativitas, wawasan dan pengalaman estetik yang cukup. Karena hakikatnya, pernyataan ide merupakan aktualisasi diri bagi mereka yang menyatakannya. Maka memerlukan keberanian, keseriusan, dan bekal untuk bertindak.
Komponis dalam mencipta kekaryaan musik gamelan berangkat dari sebuah rangsangan kreatif yang datang dari luar dirinya dan/atau fenomena psikologis dari dalam dirinya sendiri. Rangsangan kreatif itu berbentuk fenomena musikal, fenomena psikologis, dan/atau fenomena sosial-budaya. Hasil ciptaannya sangat bergantung dari rangsangan kreatif yang ditangkap dan ditanggapi melalui proses imajinasi, ide, tujuan penciptaan, dan proses kreatif. Dengan demikian karya-karya musik gamelan yang terlahir dari para empu dan/atau komponis yang berbasis pada gamelan tradisi adalah sebuah refleksi dari apa yang terjadi dalam lingkungan kulturnya yang dikomuni¬kasikan kepada masyarakat luas dan/atau difungsikan untuk berbagai kebutuhan hidup membudaya masyarakatnya. Jika demikian halnya, maka kekaryaan musik gamelan sebenarnya adalah hasil tanggapan dan imajinasi mendalam terhadap rangsangan kreatif yang diolah berdasarkan prinsip-prinsip estetik musikal untuk dikomunikasi¬kan kepada para audiencesnya. Wujud, sifat, dan bentuk akhirnya, sangat bergantung atas pilihan pendekatan yang digunakan. Maka bukanlah hal yang aneh jika kekaryaan musik gamelan yang terlahir adalah beragam. Dalam mewujudkan kekaryaan musik gamelan terdapat hubungan antara proses, medium, dan produk kekaryaannya. Hubungan antara proses, medium, dan produk dalam aktivitas musik gamelan adalah konkret. Proses selalu dimaknai sebagai serentetan aktivitas yang dilakukan oleh seniman untuk mewujudkan kekaryaan musik gamelan itu sendiri. Suara yang bersumber dari gamelan menjadi bermakna secara musikal setelah diatur tinggi rendahnya, disusun ke dalam wujud melodi, diberi ritme, diolah tempo dan irama, diolah war¬na¬nya, diolah dinamiknya, serta diikat ke dalam satu kesatuan dan diatur harmonisasi antar bagian-bagiannya.
Terdapat dua ranah penting yang secara konseptual dikerjakan oleh para komponis gamelan (empu), yakni konsep keberlanjutan dan pembaruan. Oleh karenanya, kendatipun karya-karya musik gamelan tersebut terlahir dalam wujud yang beragam, akan tetapi garis keberlanjutan dari gamelan tradisi tampak demikian jelas. Pada umumnya hasil kekaryaan semacam itu berhasil melebur ke dalam repertoar-repertoar tradisi lainnya dan disajikan dalam pertunjukan-pertunjukan gamelan. Tentunya untuk dapat menghasilkan kekaryaan musik gamelan seperti itu diperlukan modal penguasaan vokabuler gamelan tradisi yang kuat dan tingkat kreativitas yang tinggi.
Modal dasar yang kuat, dan kemampuan menanggapi rangsangan kreatif meru¬pa¬kan faktor pen¬ting dalam mem¬ben¬tuk ciri khas karya-karya mereka. Pada umumnya para komponis gamelan tidak puas dengan pengetahuan yang telah diterima dari generasi sebelumnya. Mereka seca¬ra aktif dan dinamis berupaya membentuk diri mereka sendiri. Tindakan mereka yang demikian itu telah meng¬hasil¬kan citra manusia yang dinamis, anti-deterministik, dan penuh opti¬mis¬¬me. Mereka dalam ling¬kungan sosialnya memiliki kepercayaan diri yang terus bergerak aktif lewat tindakan kreatif untuk membentuk karis¬ma diri mereka tanpa harus mengabaikan lingkungan sosial yang meling¬ku¬pi¬¬nya. Karya-karya dari buah kreativitas mereka begitu beragam, baik dari sisi pendekatan, jenis, bentuk, ide, garap, tujuan, maupun keperluan. Dalam konteks yang demikian karya-karya tersebut adalah memperkaya repertoar tradisi yang sudah ada serta mampu mencirikan identitas komponisnya.
Realitas kekaryaan musik gamelan (karawitan)[12], sebagian besar-dalam arti yang luas- dalam tiga dekade terakhir (1990-an) terdapat kecenderungan berorientasi kepada upaya pencitraan “ke-modern-an”. Orientasi yang demikian itu akibat kuatnya pengaruh bidang lain seperti ekonomi, sosial, politik, serta dinamika perubahan yang terus menggelinding. Agar dianggap lebih mencitrakan “ke-modern-an” terdapat seniman yang mengambil jalan pintas dengan cara memasukkan instrument-instrument “yang dianggap modern”. Penggunaan instrument pinjaman pada berbagai musik rakyat/ tradisi yang nampak sekarang tidak hanya sekedar untuk dapat disebut “modern”. Lebih dari itu, juga terdapat tujuan agar memiliki dampak meningkatkan nilai jual atau nilai komersial. Secara “sadar dan sengaja” mereka, (terutama produser), memberi label “modern” pada (jenis dan produk) musiknya. Penempelan label “modern” di sini biasanya hanya dengan usaha sebatas menggunakan alat musik keyboard dan instrumen-instrumen elektrik lainnya, seperti pada contoh kesenian “Kendang Kempul Modern“, “Gandrung Modern“, “Calung Modern“, Campursari, dan sebagainya. Pada dasarnya penyertaan instrumen-instrumen itu kurang atau belum disertai suatu usaha untuk meningkatkan kualitas maupun penyodoran ide inovatif/kreatif yang berarti. Di sisi lain beberapa dampak yang kemungkinan kurang menguntungkan terhadap budaya musiknya sendiri, nampaknya kurang mendapat pertimbangan secara mendalam. Contoh terdapat sejumlah gamelan yang dirubah tuningnya hanya agar sama dengan tuning keyboard. Larasan gamelan yang nota bene merupakan budayanya sendiri dikorbankan dan dikalahkan oleh sistem tuning keyboard. Adalah sebuah tindakan yang sangat ironis, jika dilihat dari sisi kebudayaan. Bilamana kekaryaan semacam ini yang terus berkembang, maka aspek kualitas musikal dan keterkaitannya dengan persoalan kebudayaan akan terus semakin terpinggirkan. Dalam kata lain karya musik yang dibuat dengan tujuan pemenuhan selera massa yang berlebihan tanpa diimbangi dengan karya-karya yang berorientasi terhadap kualitas musikal lambat laun dapat mendangkalkan daya apresiasi masyarakat itu sendiri. Sebenarnya penggunaan alat-alat musik di luar budaya musiknya telah banyak diberlakukan secara sah di berbagai wilayah budaya musik di Indonesia. Seperti penggunaan triangle dan biola pada perangkat musik gamelan gandrung Banyuwangi, penggunaan biola pada musik gamelan Minang, penggunaan brass instruments pada Tanjidor, dan alat-alat musik barat pada tradisi kroncong atau langgam, penggunaan terompet dan snar drum pada musik gamelan Jawa di Keraton. Langkah yang demikian merupakan sikap dan tindakan kreatif, yang disertai dengan alasan-alasan dan tujuan yang jelas, serta dapat dipertanggung jawabkan secara estetik, etik maupun kultural.[13] Oleh karenanya kehadiran instrumen-instrumen tersebut tidak pernah dipersoalkan, dan justru telah melebur menjadi bagian yang integral dalam budaya mereka.
Musik gamelan memiliki sifat lentur dan cair. Sifat yang demikian itu, karena ia sepanjang hidupnya selalu berada dan hidup dalam lingkungan masyarakat yang selalu berubah-ubah. Musik gamelan bersifat kolektif, multi tafsir, dan akomodatif yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Karenanya, mati, hidup, dan berkembangnya sangat bergantung dedikasi dan kesetiaan masyarakat pendukungnya. Pengertian ini harus ditafsir dan diartikan bahwa keberlangsungan hidup musik gamelan bukan hanya menjadi tanggung jawab seorang atau sekelompok orang, akan tetapi merupakan tanggung jawab bersama seluruh pemiliknya. Para kreator musik gamelan memiliki peranan yang cukup penting dalam menjaga kelangsungan kehidupan musik gamelan. Diperlukan sentuhan-sentuhan kreatif para kreator, agar musik gamelan dapat survive dalam dinamika zaman yang terus bergerak. Jadi menurut saya titik permasalahannya bukan terletak pada istilah tradisi atau kontemporer, melainkan lebih kepada substansi kekaryaannya, yakni karya musik gamelan yang mampu berbicara dalam konteks kehidupan manusia.
Sukaharjana mencatat bahwa istilah kontemporer sendiri menjadi polemik yang cukup seru pada tahun 1980-an, dan bahkan telah banyak menimbulkan kesalahpahaman. Di Amerika dan Eropa yang merupakan ibu kandung istilah ini dilahirkan, sejak lama sudah tidak lagi mempersoalkan istilah kontemporer. Kata kontemporer dalam musik tidak menunjuk pada sesuatu yang spesifik, melainkan menyiratkan suatu waktu “masa kini” atau yang bersifat kekinian.[14] Menyimak pemaknaan itu, kata kunci kontemporer terletak pada sifat kekinian suatu karya. Jika demikian, logikanya setiap gaya musik muncul karya-karya yang memiliki sifat kekinian pada zamannya. Persoalan yang kemudian perlu mendapat elaborasi lebih detail dan jelas adalah substansi kekinian itu sendiri.
Substansi kekinian terletak pada sifat-sifat dasar musik kontemporer pada setiap zaman, yakni berkait dengan kebutuhan pembaruan sebagai tuntutan terhadap masa lalu yang dianggap sudah tidak relevan pada masa kini.[15] Dalam kekaryaan gamelan kontemporer sifat-sifat kebaruan yang selama ini muncul terletak pada pengolahan bentuk, laras, pathet, irama, dinamik, instrumentasi, penggunaan idiom, serta kreativitas mereinter¬pretasi vokabuler yang telah ada. Dengan demikian karya gamelan kontemporer yang muncul sebagian besar berakar kuat dari aspek-aspek musikalitas gamelan sebagai pijakannya.
Memperhatikan pemaknaan seperti itu, maka gamelan kontemporer salah satunya dapat diberi pengertian komposisi gamelan yang memiliki warna kebaruan dan kekinian. Kebaruan dan kekinian bukan dalam pengertian yang bersifat revolusioner, akan tetapi lebih dimaknakan memiliki nuansa kebaruan dari berbagai aspek dan garap musikalitasnya. Kebaruannya dapat tercermin dalam kreativitas pengolahan bentuk, laras, pathet, irama, dinamik, instrumentasi, penggunaan idiom, atau kreativitas dalam mereinterpretasi vokabuler yang telah ada. Apabila pengertian ini dapat disepakati, maka sebenarnya pengertian ‘gamelan kontemporer’ sendiri tidak menunjuk pada spesifikasi tertentu sebagai sebuah aliran kekaryaan karawitan atau yang terlahir pada pereode tertentu, melainkan juga mencakupi karya-karya karawitan yang terlahir yang di dalamnya mencerminkan kebaruan dan kekinian. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan, bahwa kehadiran karya ‘gamelan kontemporer’ adalah suatu kenyataan baru, namun tidak menghapus karya yang telah ada sebelumnya. Justru sebaliknya, bahwa kehadiran karya-karya ‘karawitan kontemporer’ sebagian memanfaatkan potensi-potensi karawitan yang ada sebelumnya. Hal demikian terjadi bukan terbatas dalam kurun waktu tertentu, melainkan bergulir dari masa ke masa. Selanjutnya karya-karya itu dalam perjalanannya terseleksi secara ketat oleh masyarakat. Hanya karya-karya yang berkualitas saja yang memiliki daya tembus terhadap dinamika zaman.
Di tingkat realitas kata kontemporer dalam terminologi kekaryaan seni masih ditafsirkan dalam makna dan pengertian yang beragam. Terdapat yang mengartikan “kekinian”, tanpa harus mendikotomikan tradisi dan non tradisi. Dalam konteks ini pengertian yang dibangun lebih mengutamakan sikap seniman dalam menelorkan karya-karyanya tanpa harus memandang kekaryaannya masih kental dengan idiom-idiom tradisi atau tidak. Yang lebih dipentingkan adalah kualitas kekaryaannya dan mencerminkan “kekinian”. Karya ‘gamelan kontemporer’ dalam pengertian semacam ini secara jelas dapat dikatakan sebagai keberlanjutan tradisi.
Terdapat pula yang mengartikan kontemporer sebagai sebuah kekaryaan yang sudah melepaskan diri dari idiom-idiom dan konvensi-konvensi tradisi. Di kalangan masyarakat karawitan terdapat sebagian yang mengacu pengertian ‘gamelan kontemporer’ yang kedua, yakni kekaryaan yang melepaskan diri dari idiom-idiom dan konvensi-konvensi tradisi. Dalam konteks yang demikian gamelan bukan lagi dipandang sebagai ansambel untuk keperluan menyajikan karya tradisi, namun lebih dipandang sebagai sumber bunyi yang dapat dieksplorasi kekuatannya dalam menghasilkan bunyi/suara yang diinginkan. Dalam menyebut ‘gamelan kontemporer’ atau karya musik kontemporer lebih sering disebut sebagai komposisi saja. Seperti telah disebut di muka penyebutan semacam itu adalah sebuah kesalah-kaprahan yang perlu diluruskan. .
Pengertian seperti itu membawa implikasi yang sangat jelas, bahwa ‘gamelan kontemporer’ dilepaskan dari tradisinya. Karena dasar kekaryaannya seperti itu, maka secara realitas terdapat kekaryaan kontemporer yang lebih mementingkan penemuan bunyi-bunyi baru tanpa memikirkan keterkaitannya dengan aspek budaya yang melingkupinya. Akibat orientasinya adalah penemuan bunyi-bunyi baru yang berbeda dengan tradisi yang dikuasainya, maka proses pinjam-meminjam dan/atau pemanfaatan terhadap jenis musik di luar budayanya pun bukan menjadi masalah. Tentunya kekaryaan semacam inipun terdapat keuntungan dan kerugiannya. Keuntungannya terdapat upaya secara sungguh-sungguh untuk menjelajahi berbagai kemungkinan dalam menemukan bunyi-bunyi baru sebagai sebuah alternatif kekaryaan. Temuan bunyi-bunyi baru itu akan menjadi bermakna jika kemudian diolah menjadi kekaryaan yang utuh dan mampu menawarkan wacana kebaruan dan bermanfaat bagi pengkayaan kekaryaan musik gamelan. Jika tidak, kehadiran kekaryaan ‘gamelan kontemporer’ tidak pernah mampu menemukan audiencesnya. Ibarat bayi terlahir kemudian mati.[16] Kerugian lainnya kadang ‘gamelan kontemporer’ dijadikan sebagai pelarian bagi mereka yang kurang menguasai aspek-aspek musikal gamelan. Akibatnya terdapat pula perlakuan yang kurang wajar terhadap instrumen gamelan.
Sekedar contoh, bahwa pada tahun 1980-an di Surakarta terdapat mahasiswa demi mewujudkan kekaryaan ‘gamelan kontemporer’ terjadi perlakuan terhadap instrument gong secara semena-mena, yakni melempari gong dengan batu-batu kecil untuk mendapat efek bunyi tertentu. Gong sebagai sebuah simbol kebudayaan memiliki makna yang khusus bagi pemilik budaya, sehingga ketika diperlakukan secara kurang wajar timbul masalah dengan pemilik budaya itu. Dari sisi lain cara semacam itu dapat merusak gong itu sendiri. Atas kejadian semacam itu terdapat salah seorang empu yang marah besar dengan menyarankan agar kekaryaan-kekaryaan sejenis itu sebaiknya dipertimbangkan kembali. Pandangan empu tersebut bukan bermaksud untuk membatasi sebuah kreativitas, melainkan bertujuan agar setiap kekaryaan dilandasi visi yang jelas. Visi tentang kompositoris, ide musikal, serta ide garapnya. Dengan demikian kekaryaan ‘gamelan kontemporer’ tidak sekedar dijadikan sebagai bentuk pelarian bagi mereka yang tidak menguasai aspek-aspek musikal gamelan. Oleh karenanya diperlukan pemahaman yang jelas terhadap istilah ‘gamelan kontemporer’ itu sendiri.
Menurut pandangan saya untuk menghindari kesalah-pahaman semacam itu terdapat beberapa catatan yang penting untuk diperhatikan. Pertama seorang pengkarya sebelum memanfaatkan instrumen dan atau beberapa instrumen untuk keperluan kekaryaannya, terlebih dahulu harus mampu mengenal karakteristik dan cara memproduksi suara dari instrumen yang akan digunakannya. Dengan demikian seorang kreator akan paham betul dalam memanfaatkan instrumen untuk mencari warna bunyi yang diharapkan. Tanpa mengenal secara baik karakter, potensi, serta cara memproduksi suara instrumen, tidak bakal dapat mengeksplorasi kemampuan instrumen tersebut secara maksimal, dan kadang cenderung memberlakukannya secara semena-mena. Pemahaman seperti ini lebih diutamakan terhadap instrumen-instrumen yang secara budaya masih merupakan milik dan hidup dalam masyarakat. Sekaligus dapat menghindarkan munculnya konflik yang tidak diinginkan. Bagi instrumen yang didesain secara khusus untuk keperluan kekaryaan, resiko semacam ini relatif tidak ada, karena tidak berkait langsung dengan pemilik budaya musik. Jadi, komposisi baru dengan instrumen rekayasa kreatornya relatif lebih memiliki kebebasan. Pembuatan instrumen baru sekaligus dapat mempermudah untuk membuat karya-karya yang tidak senafas dengan karya-karya yang sudah ada, dan juga lebih merangsang kreativitas bagi kreatornya. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena pada dasarnya setiap bunyi yang dihadirkan dalam konteks kekaryaan secara estetik musikal harus dapat dipertanggungjawabkan. Kekaryaan semacam ini biasanya terlahir dari sebuah proses penjelajahan yang intens terhadap berbagai fenomena bunyi, kemudian dikompos menjadi sebuah keutuhan. Oleh karenanya memerlukan kerja studio yang cukup. Tanpa kerja studio yang cukup, sangat riskan dapat menghasilkan karya yang berkualitas.
Akhirnya tentang makna hubungan antara tradisi dan kontemporer sebagai sebuah keberlanjutan atau pemisahan sangat bergantung kepada pemaknaan tradisi dan kontemporer itu sendiri. Jika makna kontemporer lebih diarahkan dalam pengertian bentuk kekaryaan yang sudah tidak mengkaitkan idiom-idiom dan konvensi-konvensi tradisi, maka secara jelas ‘gamelan kontemporer’ bukan sebagai bentuk keberlanjutan gamelan tradisi, melainkan secara sengaja memisahkan diri dari ketradisiannya. Sebaliknya jika kata kontemporer dalam musik tidak menunjuk pada sesuatu yang spesifik, melainkan menyiratkan suatu waktu “masa kini” atau yang bersifat kekinian, maka kehadiran ‘gamelan kontemporer’ lebih merupakan sebuah keberlanjutan dari ketradisian gamelan itu sendiri. Dalam pengertian ini ‘gamelan kontemporer’ tetap berada pada jalur hubungan dengan sosial-budaya yang melingkupinya. Atas permasalahan ini terdapat sejumlah komentar sebagai berikut. I Wayan Rai, komponis gamelan Bali, dan kini Rektor ISI Bali saat diwawancarai, berpendapat sebagai berikut:
“Kehadiran ‘gamelan kontemporer’ di Bali tetap merupakan keberlanjutan dari tradisi gamelan Bali itu sendiri. Toh misalnya berubah hanya bentuknya saja tetapi rohnya tetap gamelan Bali”
Pernyatan I Wayan Rai tersebut jika dikaitkan dengan realitas kekaryaan ‘gamelan kontemporer’ yang dicipta oleh rekan-rekan komponis Bali adalah masuk akal. Contoh-contohnya dapat diamati karya I Nyoman Windha, Suryantini, Arnawa, Komang Astita, I Wayan Rai, dan komponis lainnya. Karya-karya para komponis ini tetap bertolak dari genre musik Bali dan sekaligus tetap menyiratkan roh musik Bali. Antara lain memanfaatkan gender wayang, pegambuhan, semara pegulingan, kebyar, dan sebagainya. Apa yang dikemukakan oleh Pak Wayan Rai itu, sesungguhnya tidak saja terjadi di Bali, melainkan juga terjadi di Jawa dan Sunda. Kendati pun arah perkembangan gamelan kontemporer dari ketiga daerah ini menunjukkan sedikit perbedaan, akan tetapi tetap terdapat kesamaan-kesamaannya. Kesamaan yang paling menonjol, bahwa ketiga daerah ini muncul komponis-komponis kreatif yang setia terhadap keberlanjutan musik gamelan. Kendatipun juga muncul komponis-komponis yang tertarik untuk mengolah karyanya berpijak dari berbagai genre musik etnik nusantara. Untuk yang disebut terakhir rekan-rekan komponis Solo, adalah yang terbanyak. Situasi ini dipengaruhi, bahwa di Jurusan Karawitan ISI Solo terdapat 55 dosen yang sekaligus berstatus sebagai komponis. Mereka berasal dari latar belakang budaya yang berbeda (Jawa, Bali, Sunda, Minang, Makassar, Banyuwangi dan Jawa Timur, Madura, Musik Barat). Bahkan jika dirinci sub-sub etnisnya sangat banyak dan beragam. Setiap saat mereka saling berinteraksi dan saling membantu dalam berkarya. Situasi semacam ini juga terdapat untung ruginya. Keuntungannya dalam berkarya antara para pendukung karya cepat memahami yang dimaksudkan oleh komponis, sehubungan bahwa mereka kebanyakan juga seorang komponis. Di samping itu sumber penciptaan (genre) mudah untuk didapatkan, karena para komponis tersebut memiliki kemampuan musik yang beragam. Terjadi sharing wawasan musikal yang intensif. Kelemahannya antar komponis (terutama yang muda) saling terpengaruh jika harus berkarya dalam waktu yang bersamaan, akibatnya terdapat kemiripan hasil kekaryaannya. Masing-masing komponis lebih cenderung menyajikan karya ciptanya sendiri, jarang yang mengyajikan kekaryaan rekan-rekannya. Kecuali jika mereka bermain bersama dalam satu peristiwa dengan menyajikan kekaryaan hasil ciptaan mereka. Akibatnya banyak kekaryaan yang dilahirkan kurang terpublika¬sikan secara baik. Dampak yang paling mencolok hanya terdapat sejumlah komponis yang setia menciptakan kekaryaan gamelan yang benar-benar bertolak secara total dari musik gamelan itu sendiri. Tentunya situasi ini bisa saja berakibat kurang menguntungkan bagi perkembangan kehidupan musik gamelan di masa-masa mendatang. Hasil penciptaan yang lebih dominan menggunakan gamelan justru muncul untuk kegunaan tari dan pertunjukan wayang kulit. Itupun akhir-akhir ini kekaryaan karawitan wayang lebih cenderung berwarna populer.
Pernyataan Edi Sedyawati berbeda dengan I Wayan Rai. Ibu Edi Sedyawati berpendapat, bahwa antara gamelan tradisi dan gamelan kontemporer adalah sebuah pemisahan, bukan merupakan keberlanjutan. Pernyataan Edi Sedyawati dilandasi argumentasi sebagai berikut.
“Bahwa setiap saat dalam seni termasuk musik selalu ditemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu bersifat kontemporer dan kadang menjelma menjadi genre baru seperti halnya yang terjadi dalam ‘gamelan kontemporer’.
Argumentasi semacam itu juga logis, akan tetapi yang perlu dipertanyakan adalah apakah kekaryaan ‘gamelan kontemporer’ yang berupaya untuk memperluas gramatika gamelan tradisi dengan sentuhan-sentuhan kebaruan, bukan merupakan sebuah keberlanjutan atau tetap dipandang sebagai sebuah pemisahan? ‘Gamelan kontemporer’ yang mengarah terhadap pemisahan memang diperlukan, karena ia merupakan genre baru, akan tetapi tidak setiap karya ‘gamelan kontemporer’ harus dimaknai dan mengarah kepada pemisahan dari ketradisiannya. Karena kehadiran ‘gamelan kontemporer’ yang merupakan keberlanjutan dari tradisi gamelan sangat diperlukan dan bermanfaat bagi keberlanjutan kehidupan musik gamelan itu sendiri. Realitas menunjukkan, bahwa karya gamelan semacam ini ternyata memiliki kekuatan membudaya dalam konteks sosial. Akhirnya pemunculan kekaryaan gamelan perlu mempertimbangkan manfaatnya dalam konteks kehidupan.
Dari sisi lain semakin luasnya makna musik gamelan dapat berakibat menghambat perkembangan kehidupan musik gamelan dalam pengertian yang sebenarnya. Memang, secara sekilas tampak, bahwa musik gamelan memayungi jenis-jenis musik etnik yang lain, akan tetapi dari sudut yang berbeda justru kurang menguntungkan bagi perkembangan musik-musik etnik tersebut dan bagi musik gamelan itu sendiri. Untuk itu menurut pendapat saya ‘gamelan kontemporer’ perlu memprioritaskan berkarya dengan titik tolak dari musik gamelan itu sendiri. Dengan demikian kekaryaan musik ‘gamelan kontemporer’ akan memiliki manfaat yang besar terhadap perkembangan kekaryaan dan kehidupan musik gamelan. Ini hanya dapat berlangsung, jika para komponis gamelan berfokus berkarya untuk gamelan. Sekali lagi demi perkembangan kehidupan musik gamelan diperlukan komponis-komponis kreatif yang memfokuskan diri berkarya untuk gamelan. Maka dari itu titik terpenting dalam kekaryaan musik gamelan, terletak pada sejauhmana kekaryaan musik gamelan tersebut memiliki manfaat terhadap perkembangan kehidupannya serta asas kemanfaatannya dalam kehidupan musik pada umumnya.[1] Di Indonesia sistem musik gamelan biasa disebut karawitan. Kata gamelan di Indonesia lebih dimaknai sebagai seperangkat alat musik, bukan dalam pengertian sistem musiknya. Gamelan selalu dicirikan sebagai alat musik yang terbuat dari besi, kuningan, atau perunggu dengan menggunakan laras (tangga nada) slendro dan pelog. Sejak sekolah-sekolah formal karawitan didirikan dengan nama Konservatori Karawitan Indonesia (KoKar), kemudian disusul berdirinya perguruan tinggi seni di berbagai kota di Indonesia, istilah karawitan digunakan secara lebih meluas. Dalam pengertian tidak hanya terbatas musik yang menggunakan perangkat gamelan saja. [2] Di Jawa, Sunda, dan Bali banyak empu karawitan yang diangkat sebagai pegawai pemerintah pada Jawatan Kebudayaan. Kendatipun mereka telah menjadi pegawai pemerintah, namun sebagian besar dari mereka tetap berkarya secara kreatif.[3] Dalam bidang karawitan (musik gamelan) pengertian empu dimaknai sebagai seorang yang memiliki virtuositas tinggi, kreatif, menjadi kiblat atau acuan bagi masyarakat karawitan, serta didudukkan sebagai nara sumber yang bisa dipercaya.[4]Contoh kasus ini di antaranya dapat dilihat pada gendhing garap kodhokan dan sejumlah gendhing yang secara bentuk dan struktur pamijen. Garap kodhokan adalah sajian gendhing yang pada saat tertentu para musisi diberi kebebasan keluar dari konteks gending yang disajikan. Sedangkan pamijen istilah yang digunakan untuk menyebut, baik garap maupun struktur gending yang keluar dari kelaziman. Pada tahun 1950-an karya-karya semacam ini semakin merebak.[5] Jenis karya musik yang disusun baru dan tidak terikat terhadap konvensi-konvensi tradisi disebut dengan istilah komposisi. Istilah komposisi ini juga digunakan untuk menyebut jenis kekaryaan ‘gamelan kontemporer’. Jadi dalam penggunaan istilah komposisi sampai sekarang menurut pendapat saya masih rancu. Alasannya bahwa semua hasil ciptaan kekaryaan musik adalah komposisi, tanpa harus dibedakan sumber bunyi, jenis, dan bentuknya.[6] Sebenarnya banyak para pelaku campursari itu sendiri sangat tipis pemahamannya terhadap konsep laras slendro dan pelog. Oleh karena di masyarakat karawitan banyak yang menyebutnya sebagai slendro-pelog diatonis. Hakikat embat yang dalam konsep laras menjadi penting dalam campursari kurang mendapat perhatian.[7]Jika dirunut dari awal munculnya penamaan campursari, perkembangan yang ada sekarang tampaknya telah melebar demikian dahsyat dari ide awalnya itu. Pada mulanya (1960) munculnya musik campursari merupakan kesepakatan antara musisi gamelan dengan musisi keroncong. Antara gamelan dan keroncong dicari titik temu aspek musikalnya. Untuk membangun keharmonisan musikal disepakati instrumen yang digunakan, baik dari sisi gamelannya maupun dari instrumen keroncong-nya. Namun dalam perkembangannya terutama sejak tahun 1990-an format instrumentasi campursari menjadi meluas tak terbatas. Percampuran tersebut tidak saja pada instrumen melainkan juga termasuk dalam penggunaan bahasanya. Kini dengan menggunakan satu instrumen saja (organ) asal lagu yang dinyanyikan yang biasa dilagukan dalam pertunjukan campursari disebut pula sebagai musik campursari.[8] Secara tegas yang disebut sebagai Konservatori Karawitan adalah yang ada di Surakarta, Bandung, Bali, Surabaya, dan Padang. Sedangkan yang berada di Yogyakarta lebih tebal orientasinya ke bidang tari, maka diberi sebutan Konservatori Tari (KonRi). Seiring dengan perubahan zaman dan kebijakan pendidikan di Indonesia pada tahun (1977?) nama sekolah-sekolah tersebut dirubah menjadi SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia). Ketika telah berubah menjadi SMKI di sejumlah daerah yang merasa memiliki musik yang kuat mendirikan SMKI seperti di Makasar, Banyumas, Palembang, dll. Kini nama SMKI telah dirubah dan dipandang sebagai sekolah kejuruan, maka namanyapun kemudian dirubah menjadi SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Untuk membedakan dengan sekolah kejuruan yang lain hanya diberi tanda nomor, seperti SMKI Surakarta menjadi SMK Negeri 8. Lagi-lagi cara berfikir semacam ini perlu dikritisi. Sebab dengan menyamakan SMKI dengan sekolah menengah kejuruan pada umumnya, maka prinsip-prinsip umum sekolah kejuruan harus diikuti. Dalam kata lain tidak memiliki spesifikasi yang lebih kongkrit seperti halnya ketika masih bernama Konservatori Karawitan. Dampaknya kualitas lulusannyapun terdapat perbedaan yang mencolok.[9] Kehadiran para lulusan Konservatori Karawitan di tengah-tengah masyarakat dari satu sisi menguntungkan karena pada umumnya terdapat kegairahan kehidupan karawitan di tengah-tengah masyarakat dan kualitas permainan instrumen dan garap gending meningkat. Akan tetapi juga terdapat kerugian (terutama di Jawa), karena gaya-gaya lokal yang bukan datang dari keraton cenderung tersingkir dan bahkan terdapat yang mati. Pada umumnya lulusan Konservatori Karawitan Surakarta mendapatkan pelajaran gaya musik gamelan kraton, sehingga ketika masuk kembali ke masyarakat ia mengajarkan gaya kraton itu.[10] Banyak sinyalemen dari para tokoh karawitan, menurunnya sensitifitas atau kepekaan para generasi muda karawitan terhadap rasa musikalitas karawitan akibat kebanyakan mereka dalam belajar lebih mengandalkan notasi tulisan. Dengan demikian penghayatan terhadap esensi atau karakter gendingnya kurang maksimal. Karena mereka harus membagi perhatiannya menjadi dua, yakni antara notasi dan permainan. Sampai sekarang tradisi oral masih tetap hidup.[11] Di Konservatori Karawitan Surakarta dan ASKI Surakarta pada tahun 1950-1970-an berhasil terdokumentasikan Tiga Jilid Notasi Balungan Gending-gending Gaya Surakarta, Pola Kendangan, Cengkok-Cengkok Genderan, Sulukan, Pathetan, dan Ada-ada, Sindhenan Bedaya Srimpi, Santiswara, dan sebagainya.[12] Setuju maupun tidak mereka menyebut karya-karya semacam itu dalam rumpun gamelan/karawitan. Tentunya arti gamelan yang meluas tanpa batas semacam itu dapat merugikan dan sekaligus juga menguntungkan. Kerugiannya tidak ada batas yang tegas tentang makna musik gamelan. Akan tetapi juga menguntungkan, karena gamelan atau karawitan dipahami sebagai musik yang memayungi jenis-jenis musik lainnya yang hidup di Indonesia.[16] Banyak karya gamelan kontemporer yang hanya dipentaskan satu kali, baik dalam festival, ujian, maupun dalam forum lainnya kemudian hilang dari peredaran. Maka sampai muncul pomeo dari Sadra (seorang komponis kontemporer) yang menyatakan bahwa ‘gamelan kontemporer’ (komposisi kontemporer) adalah karaya yang mampu membeayai dirinya sendiri.